Karya video ini adalah meditasi eksistensial atas dunia yang berhenti, atas masa di mana napas manusia terhenti di tenggorokan, dan udara menjadi doa yang penuh waswas. Ayana Eweuh – Eweuh Teh Aya—ungkapan Sunda yang menggugat realitas, “ada itu tiada, tiada itu ada”—menjadi pernyataan puitis sekaligus teologis tentang zaman pandemi: ketika virus yang tak terlihat mengubah seluruh tatanan hidup, ketika ketidakhadiran justru menjadi bukti paling nyata dari keberadaan. Dalam getar visual yang perlahan, karya ini berbicara tentang paradoks iman dan ketakutan: manusia tiba-tiba sadar bahwa sesuatu yang tak kasatmata—baik virus maupun Tuhan—bekerja dengan kekuatan yang tak bisa dijelaskan logika.
Julia Kristeva akan menyebut situasi ini sebagai abject: wilayah liminal di mana yang hidup dan mati, suci dan najis, tubuh dan roh, saling menembus tanpa batas. Pandemi membuat manusia memasuki zona chora—ruang primordial yang belum diliputi bahasa dan makna, tempat ritme kosmik menggantikan narasi rasional. Dalam karya ini, chora itu diwujudkan dalam ruang sunyi, dalam pergerakan visual yang lambat seperti tarikan napas terakhir, dalam warna-warna yang menenangkan namun menyimpan ancaman laten. Di sana, manusia menjadi tubuh yang rentan, namun justru dalam kerentanannya ia menemukan getar yang lebih besar dari dirinya sendiri: getar keberadaan ilahi.
Lacan melihat pengalaman ini sebagai hancurnya cermin—manusia kehilangan refleksi tentang siapa dirinya di tengah dunia yang tak lagi bisa dikendalikan. Struktur sosial, politik, dan ekonomi runtuh; subjek modern yang dibentuk oleh rasionalitas dan kontrol kini hanya bayangan di jendela rumah karantina. Baudrillard menamai keadaan ini hiperrealitas mutlak: dunia yang penuh citra tentang virus, angka kematian, propaganda vaksin, dan teori konspirasi—semuanya menumpuk hingga realitas sejati lenyap di antara layar-layar digital. Namun, di tengah kebingungan informasi itu, muncul kembali kesadaran spiritual yang purba: tangan Tuhan bekerja diam-diam, seperti angin yang menggerakkan daun, seperti gelombang yang memulihkan udara.
Dalam pandangan Yassraf Amir Piliang, pandemi ini adalah momen “hening kosmik”, ketika semesta melakukan reset terhadap kebisingan manusia. Alam bernafas kembali tanpa polusi; langit memucat biru bersih, air sungai kembali jernih. Ketika manusia menyingkir dari jalan raya, burung-burung kembali bercerita di atap kota. Deborah Ram Mozes menangkap paradoks ini—bahwa di balik duka dan kematian, ada keseimbangan baru yang lahir: keindahan yang tanpa manusia. Dalam kearifan Sunda Wiwitan, keadaan ini disebut tata rahayu: tatanan yang kembali pada keseimbangan asalnya, di mana Hyang Tunggal bekerja tanpa disadari.
Setiawan Sabana akan membaca karya ini sebagai tubuh spiritual—bahan visual yang menyerap napas zaman. Jacob Soemardjo akan menyebutnya rasa rupa pandemi: seni yang lahir dari penderitaan kolektif tapi memantulkan kesadaran metafisis tentang keberadaan. Sanento Yuliman mungkin akan menulis bahwa karya ini tidak mendeskripsikan pandemi, melainkan menghayati “detik panjang antara napas dan doa.” Sedangkan John Berger akan mengingatkan kita: melihat bukan sekadar menatap, tetapi mengakui bahwa ada kekuatan yang bekerja dalam ketiadaan.
Ayana Eweuh – Eweuh Teh Aya akhirnya bukan tentang virus, melainkan tentang iman yang diuji tanpa altar. Tentang dunia yang diam, tapi penuh gerak rahasia. Tentang tangan Tuhan yang tak terlihat namun bekerja dengan ajaib di balik kehampaan. Deborah Ram Mozes menulis puisi dalam bentuk video, mengajak kita untuk mendengarkan bisikan paling sunyi di antara hiruk-pikuk kematian: bahwa justru ketika kita kehilangan segalanya, di sanalah kita benar-benar melihat bahwa “Eweuh teh Aya”—ketiadaan pun adalah bentuk kehadiran yang paling utuh.
link video : https://www.youtube.com/watch?v=jZhlyNrnXJc
Karya ini lahir dari tahun yang sunyi—tahun ketika dunia berhenti bergerak, dan manusia belajar menatap ke dalam dirinya sendiri.
Diciptakan pada tahun 2020, karya ini berangkat dari medium yang paling rapuh: kertas.
Namun melalui ruang virtual, kertas menemukan kembali kekuatannya—menampilkan dirinya, berdiri tegar, menolak dilupakan.
Seperti halnya perempuan perupa yang selalu mencari ruangnya sendiri di antara dinding patriarki dan kebisingan dunia seni,
kertas dalam karya ini pun menegaskan keberadaannya: lembut tapi teguh, diam tapi menggetarkan.
Ia adalah tubuh spiritual yang menggema dalam dunia digital, menjadi simbol dari daya hidup yang tak bisa dibungkam.
Ayana Eweuh – Eweuh Teh Aya adalah refleksi atas pandemi, atas ketiadaan yang justru melahirkan kesadaran baru.
Ketika virus yang tak terlihat menguasai bumi, tangan Tuhan bekerja dengan ajaib dalam senyap—
mengajarkan bahwa yang tak tampak seringkali justru yang paling nyata.
🌙 “Eweuh teh Aya.”
Ketiadaan pun adalah bentuk keberadaan, dan dari rapuhnya kertas, lahirlah kekuatan yang tak terukur.
#DeborahRamMozes #AyanaEweuh #2020Art #PaperBasedArt #VideoArt #SundaWiwitan #ContemporaryArt #ArtAndSpirituality #WomenInArt #Kristeva #Lacan #Baudrillard #JacobSoemardjo #SanentoYuliman #SetiawanSabana #YassrafAmirPiliang #ResilienceInArt #PhilosophyOfSilence #VirtualExhibition