“Pumpkinboi” menertawakan absurditas identitas digital — ketika manusia bersembunyi di balik topeng lucu untuk menutupi kekosongan diri. Sebuah sindiran visual tentang hiperrealitas, kemunafikan sosial media, dan kesucian palsu di ujung jari yang sibuk menghakimi.
Loading ...
Pumpkinboi
by deborah ram mozes
Pumpkinboi
Medium: Digital Painting / NFT Artwork
Dalam karya “Pumpkinboi,” Deborah Ram Mozes menelusuri paradoks identitas manusia di era digital — di mana wajah bukan lagi representasi diri, melainkan topeng yang diproduksi secara terus-menerus dalam simulasi sosial media. Figur dengan kepala labu — lucu sekaligus menakutkan — menjadi metafora tentang absurditas zaman: manusia yang terus menyembunyikan dirinya di balik identitas yang mereka ciptakan sendiri.
Mengacu pada teori Jean Baudrillard, karya ini berbicara tentang hiperrealitas, yaitu dunia di mana citra telah menggantikan realitas, dan simbol-simbol menjadi lebih nyata dari yang disimbolkan. Pumpkinboi hidup dalam tatanan “tanda tanpa referen” — topeng labu tidak merujuk pada siapa pun, melainkan pada keinginan manusia untuk tampak unik, keren, dan eksis. Namun di balik itu, justru tersingkap kekosongan: wajah hilang, yang tersisa hanya persona digital yang tak memiliki ruh.
Secara semiotik, sarung tangan putih berfungsi sebagai signifier dari kemurnian palsu: simbol “tangan suci” yang enggan menyentuh realitas, enggan bertanggung jawab atas ujaran atau perilaku di ruang maya. Ini merujuk pada fenomena psiko-sosial yang dijelaskan oleh Lacan: manusia modern yang kehilangan “cermin diri” karena ia hanya melihat pantulan yang telah difilter dan diedit oleh teknologi.
Senyum lebar dan mata labu yang terbuka lebar menggambarkan subliminal state masyarakat digital — haus validasi, lapar perhatian, namun kehilangan orientasi terhadap makna. Di sini, scrolling menjadi ritual kontemporer; bukan untuk mencari pengetahuan, melainkan untuk mengisi kehampaan eksistensial. Dalam konteks Kristeva, ekspresi Pumpkinboi adalah bentuk abjection — manifestasi dari sesuatu yang menjijikkan namun tak bisa ditinggalkan: candu terhadap layar dan citra diri.
Warna oranye dan putih menciptakan dualitas estetika paradoks, sebagaimana diuraikan oleh Jacob Soemardjo: “Seni yang benar lahir dari tegangan antara yang luhur dan yang banal.” Warna emas-oranye merepresentasikan citra kehangatan dan keceriaan dunia maya, tetapi di baliknya bersembunyi kegelisahan eksistensial.
“Pumpkinboi” adalah potret manusia pascamodern yang hidup dalam kesadaran semu — tertawa di depan layar, bersembunyi di balik avatar, dan perlahan kehilangan tubuh spiritualnya. Ia menertawakan dirinya sendiri tanpa sadar bahwa dirinya adalah parodi: a simulation of humanity inside a hollow pumpkin.
Published: Oct 27, 2025
Pumpkinboi
Medium: Digital Painting / NFT Artwork
Dalam karya “Pumpkinboi,” Deborah Ram Mozes menelusuri paradoks identitas manusia di era digital — di mana wajah bukan lagi representasi diri, melainkan topeng yang diproduksi secara terus-menerus dalam simulasi sosial media. Figur dengan kepala labu — lucu sekaligus menakutkan — menjadi metafora tentang absurditas zaman: manusia yang terus menyembunyikan dirinya di balik identitas yang mereka ciptakan sendiri.
Mengacu pada teori Jean Baudrillard, karya ini berbicara tentang hiperrealitas, yaitu dunia di mana citra telah menggantikan realitas, dan simbol-simbol menjadi lebih nyata dari yang disimbolkan. Pumpkinboi hidup dalam tatanan “tanda tanpa referen” — topeng labu tidak merujuk pada siapa pun, melainkan pada keinginan manusia untuk tampak unik, keren, dan eksis. Namun di balik itu, justru tersingkap kekosongan: wajah hilang, yang tersisa hanya persona digital yang tak memiliki ruh.
Secara semiotik, sarung tangan putih berfungsi sebagai signifier dari kemurnian palsu: simbol “tangan suci” yang enggan menyentuh realitas, enggan bertanggung jawab atas ujaran atau perilaku di ruang maya. Ini merujuk pada fenomena psiko-sosial yang dijelaskan oleh Lacan: manusia modern yang kehilangan “cermin diri” karena ia hanya melihat pantulan yang telah difilter dan diedit oleh teknologi.
Senyum lebar dan mata labu yang terbuka lebar menggambarkan subliminal state masyarakat digital — haus validasi, lapar perhatian, namun kehilangan orientasi terhadap makna. Di sini, scrolling menjadi ritual kontemporer; bukan untuk mencari pengetahuan, melainkan untuk mengisi kehampaan eksistensial. Dalam konteks Kristeva, ekspresi Pumpkinboi adalah bentuk abjection — manifestasi dari sesuatu yang menjijikkan namun tak bisa ditinggalkan: candu terhadap layar dan citra diri.
Warna oranye dan putih menciptakan dualitas estetika paradoks, sebagaimana diuraikan oleh Jacob Soemardjo: “Seni yang benar lahir dari tegangan antara yang luhur dan yang banal.” Warna emas-oranye merepresentasikan citra kehangatan dan keceriaan dunia maya, tetapi di baliknya bersembunyi kegelisahan eksistensial.
“Pumpkinboi” adalah potret manusia pascamodern yang hidup dalam kesadaran semu — tertawa di depan layar, bersembunyi di balik avatar, dan perlahan kehilangan tubuh spiritualnya. Ia menertawakan dirinya sendiri tanpa sadar bahwa dirinya adalah parodi: a simulation of humanity inside a hollow pumpkin.
“Pumpkinboi” menertawakan absurditas identitas digital — ketika manusia bersembunyi di balik topeng lucu untuk menutupi kekosongan diri. Sebuah sindiran visual tentang hiperrealitas, kemunafikan sosial media, dan kesucian palsu di ujung jari yang sibuk menghakimi.
Comments (0)
You must be logged in to comment.
More by deborah ram mozes
See All
Delete Post
Are you sure you want to delete this post?