Loading ...
“Aing Inya Éta” (Aku, Tapi Juga Bukan Aku)
by deborah ram mozes
Karya ini, pada pandangan pertama, tampak sebagai permainan bentuk—wajah-wajah terpecah, berlapis, saling menatap dalam pusaran ruang geometris. Namun di balik struktur visualnya, tersimpan percakapan purba tentang jati diri dan keseimbangan kosmos. Judulnya sendiri, “Aing Inya Éta,” sebuah ungkapan Sunda yang menggoda dan reflektif, meminjam kelakar untuk menyingkap lapisan filsafat yang dalam. Ia menggemakan kesadaran Sunda Buhun, di mana manusia bukan pusat, melainkan bagian dari tatanan semesta. Dalam kebudayaan Kabuyutan dan Sunda Wiwitan, diri tidak berdiri sendiri—ia adalah pantulan dari jagat gede (makrokosmos) yang memancar dalam jagat leutik (mikrokosmos). Maka, serpihan wajah-wajah dalam karya ini bukan sekadar fragmentasi modern, melainkan simbol dari kesadaran bahwa manusia sejatinya terdiri dari banyak jiwa, banyak bayangan, dan banyak waktu.
Dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian, tertulis bahwa “Sing sadu, sing karasa, sing kaharti.” Kalimat ini bukan dogma, melainkan peringatan: bahwa hidup adalah kesadaran untuk mengenal yang terasa, memahami yang tak tampak, dan menata keseimbangan antara cipta, rasa, dan karsa. Deborah Ram Mozes menafsirkan wejangan itu dalam bahasa visual modern. Wajah-wajah yang terpecah itu menjadi rasa yang berlapis; garis-garisnya adalah doa yang menolak diam. Dalam setiap bidang, ada gema karesian—ketenangan rohani yang hanya bisa lahir dari kesadaran akan keterhubungan antara manusia, alam, dan Hyang Tunggal.
Jika Lacan berbicara tentang the mirror stage, maka karya ini menghadirkan versi Sundanya: bukan cermin yang memantulkan ego, tetapi cermin rasa yang memantulkan asal-usul. “Aing Inya Éta” bukan hanya pertanyaan identitas personal, tetapi juga kosmologis—sejauh mana manusia modern masih mengenali akar dirinya? Apakah ia masih tahu arah pulang ke Kabuyutan, tempat di mana bahasa belum menjadi instrumen kuasa, di mana keindahan adalah keseimbangan, bukan kompetisi?
Dalam pembacaan Baudrillard, wajah-wajah ini bisa dianggap simulakra—citra yang kehilangan sumber aslinya. Namun dalam tafsir Sunda Buhun, kehilangan itu justru bagian dari siklus alamiah: ngahiang (menghilang) bukan lenyap, melainkan kembali. Karya ini seakan memvisualkan pamorna rasa: bagaimana identitas manusia modern—terbelah oleh teknologi, sosial media, dan wacana pasar—masih menyimpan getar primordial untuk pulang ke yang sejati. Yassraf Amir Piliang akan menyebutnya sebagai “ruang liminal”, tempat tanda-tanda kehilangan pijakan namun justru membuka pintu transendensi baru.
Setiawan Sabana akan memandang kertas ini bukan hanya permukaan, tetapi lahan karesian—tempat di mana bahan dan jiwa berdialog. Jacob Soemardjo akan menyebutnya rasa rupa: pertemuan antara batin dan bentuk, di mana setiap gores adalah jalan untuk memahami asal. Sedangkan Sanento Yuliman mungkin akan berbisik bahwa karya ini tak sedang menjelaskan teori, melainkan sedang “menyepi” di dalam teori itu sendiri—seperti tapa brata seorang resi yang menemukan Tuhan lewat bentuk.
Dengan demikian, “Aing Inya Éta” menjadi risalah rupa tentang pencarian diri di zaman yang kehilangan pusat. Ia menautkan filsafat Barat modern—Lacan, Kristeva, Baudrillard—dengan kebijaksanaan lokal Sunda Buhun, membuktikan bahwa dalam pusaran modernitas yang bising, masih ada ruang untuk diam yang sakral. Di sinilah Deborah mengajak kita kembali membaca diri seperti membaca lontar—dengan hati yang tenang, dengan rasa yang nyaring. Sebab dalam seni, sebagaimana dalam hidup, mengenal diri bukan sekadar tahu nama, tetapi mengingat asal-usulnya: Sangkan Paraning Dumadi.
Published: Oct 22, 2025
Karya ini, pada pandangan pertama, tampak sebagai permainan bentuk—wajah-wajah terpecah, berlapis, saling menatap dalam pusaran ruang geometris. Namun di balik struktur visualnya, tersimpan percakapan purba tentang jati diri dan keseimbangan kosmos. Judulnya sendiri, “Aing Inya Éta,” sebuah ungkapan Sunda yang menggoda dan reflektif, meminjam kelakar untuk menyingkap lapisan filsafat yang dalam. Ia menggemakan kesadaran Sunda Buhun, di mana manusia bukan pusat, melainkan bagian dari tatanan semesta. Dalam kebudayaan Kabuyutan dan Sunda Wiwitan, diri tidak berdiri sendiri—ia adalah pantulan dari jagat gede (makrokosmos) yang memancar dalam jagat leutik (mikrokosmos). Maka, serpihan wajah-wajah dalam karya ini bukan sekadar fragmentasi modern, melainkan simbol dari kesadaran bahwa manusia sejatinya terdiri dari banyak jiwa, banyak bayangan, dan banyak waktu.
Dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian, tertulis bahwa “Sing sadu, sing karasa, sing kaharti.” Kalimat ini bukan dogma, melainkan peringatan: bahwa hidup adalah kesadaran untuk mengenal yang terasa, memahami yang tak tampak, dan menata keseimbangan antara cipta, rasa, dan karsa. Deborah Ram Mozes menafsirkan wejangan itu dalam bahasa visual modern. Wajah-wajah yang terpecah itu menjadi rasa yang berlapis; garis-garisnya adalah doa yang menolak diam. Dalam setiap bidang, ada gema karesian—ketenangan rohani yang hanya bisa lahir dari kesadaran akan keterhubungan antara manusia, alam, dan Hyang Tunggal.
Jika Lacan berbicara tentang the mirror stage, maka karya ini menghadirkan versi Sundanya: bukan cermin yang memantulkan ego, tetapi cermin rasa yang memantulkan asal-usul. “Aing Inya Éta” bukan hanya pertanyaan identitas personal, tetapi juga kosmologis—sejauh mana manusia modern masih mengenali akar dirinya? Apakah ia masih tahu arah pulang ke Kabuyutan, tempat di mana bahasa belum menjadi instrumen kuasa, di mana keindahan adalah keseimbangan, bukan kompetisi?
Dalam pembacaan Baudrillard, wajah-wajah ini bisa dianggap simulakra—citra yang kehilangan sumber aslinya. Namun dalam tafsir Sunda Buhun, kehilangan itu justru bagian dari siklus alamiah: ngahiang (menghilang) bukan lenyap, melainkan kembali. Karya ini seakan memvisualkan pamorna rasa: bagaimana identitas manusia modern—terbelah oleh teknologi, sosial media, dan wacana pasar—masih menyimpan getar primordial untuk pulang ke yang sejati. Yassraf Amir Piliang akan menyebutnya sebagai “ruang liminal”, tempat tanda-tanda kehilangan pijakan namun justru membuka pintu transendensi baru.
Setiawan Sabana akan memandang kertas ini bukan hanya permukaan, tetapi lahan karesian—tempat di mana bahan dan jiwa berdialog. Jacob Soemardjo akan menyebutnya rasa rupa: pertemuan antara batin dan bentuk, di mana setiap gores adalah jalan untuk memahami asal. Sedangkan Sanento Yuliman mungkin akan berbisik bahwa karya ini tak sedang menjelaskan teori, melainkan sedang “menyepi” di dalam teori itu sendiri—seperti tapa brata seorang resi yang menemukan Tuhan lewat bentuk.
Dengan demikian, “Aing Inya Éta” menjadi risalah rupa tentang pencarian diri di zaman yang kehilangan pusat. Ia menautkan filsafat Barat modern—Lacan, Kristeva, Baudrillard—dengan kebijaksanaan lokal Sunda Buhun, membuktikan bahwa dalam pusaran modernitas yang bising, masih ada ruang untuk diam yang sakral. Di sinilah Deborah mengajak kita kembali membaca diri seperti membaca lontar—dengan hati yang tenang, dengan rasa yang nyaring. Sebab dalam seni, sebagaimana dalam hidup, mengenal diri bukan sekadar tahu nama, tetapi mengingat asal-usulnya: Sangkan Paraning Dumadi.
Instagram: https://www.instagram.com/madam_senikrat/
Comments (0)
You must be logged in to comment.
More by deborah ram mozes
See All
Delete Post
Are you sure you want to delete this post?