Loading ...
“Wening Lenyepan” (Keheningan yang Menyerap Segalanya)
by deborah ram mozes
Karya ini adalah perjalanan batin yang menetes dari kesadaran menuju kertas, terwujud melalui pensil biru dan sapuan emas akrilik—dua warna yang berkelindan antara dingin dan hangat, antara pikiran dan intuisi, antara tubuh dan jiwa. Di hadapan kita, figur perempuan muncul tidak sebagai potret, melainkan sebagai gema psikis yang mewujud dari ruang bawah sadar. Wajahnya hening, namun matanya kosong—tanpa bola mata, tanpa pusat pandang. Kekosongan itu bukan kehilangan, melainkan ruang tafsir, cermin yang tak lagi memantulkan dunia, melainkan menyerapnya. Ia adalah “subjek dalam cermin” sebagaimana dikatakan Lacan: diri yang mencari dirinya di balik bayangan, dan justru menemukan kehampaan yang paling manusiawi.
Lingkaran-lingkaran emas di sekitar wajah dan pada bola matanya adalah simbol dari ingatan yang tak pernah selesai—ingatan yang melayang, berputar, bertubrukan satu sama lain dalam pusaran waktu. Dalam teori Julia Kristeva, ini adalah momen abjection: saat tubuh dan bahasa, diri dan yang lain, tidak lagi memiliki batas yang jelas. Setiap lingkaran itu adalah serpihan memori yang menolak diam, melayang di udara seperti atom-atom kenangan yang mencari bentuk baru. Ia bergerak di antara trauma dan keindahan, di antara daya tarik dan keterasingan.
Baudrillard mungkin akan menyebut lingkaran-lingkaran itu sebagai citra hiperreal—tanda yang kehilangan rujukan, tetapi terus beredar dan berulang, menciptakan simulakra dari makna yang tak pernah hadir sepenuhnya. Dalam dunia visual ini, ingatan menjadi hologram, kenyataan menjadi pantulan dari pantulan. Mata yang kosong menjadi metafora dari “pandangan yang tak lagi melihat,” sementara pusaran emas menjadi bahasa bagi sesuatu yang tidak bisa diucapkan.
Dalam konteks Yassraf Amir Piliang, karya ini menggambarkan tragedi post-representasi: ketika tubuh dan tanda terperangkap dalam sirkulasi makna tanpa pusat. Garis-garis biru yang mengalir seperti arus sungai adalah narasi visual tentang kegelisahan itu. Ia menolak stagnasi, menolak keteraturan. Ia menjadi ruang bagi chaos yang estetis, bagi kelahiran makna yang terus menunda dirinya sendiri.
Setiawan Sabana pernah menulis bahwa kertas adalah makhluk yang bernafas. Dalam “Wening Lenyepan”, kertas benar-benar hidup—ia menyerap getar jiwa seniman, mengendapkan napasnya di antara serat-serat halus yang mencatat setiap gerakan tangan, setiap jeda pikir. Emas di atasnya bukan hanya cat, tetapi cahaya spiritual yang menandai titik-titik kesadaran; sedangkan biru adalah napas panjang yang membawa renungan, menenangkan sekaligus menenggelamkan.
Jacob Soemardjo akan melihat ini sebagai jiwa rupa: seni yang bukan sekadar visualisasi, melainkan ekspresi dari roh yang sedang bermeditasi di dalam bentuk. Di sinilah biru dan emas berdialog, antara bumi dan langit, antara logika dan intuisi. Keduanya menyusun semesta visual yang bergerak antara sunyi dan gemuruh batin.
Dengan demikian, “Wening Lenyepan” bukan sekadar representasi perempuan; ia adalah peta kesadaran manusia yang terus berputar dalam ingatan dan kehilangan. Sebuah refleksi tentang bagaimana mata—meski kosong—dapat melihat lebih jauh dari realitas, dan bagaimana lingkaran-lingkaran emas menjadi bahasa dari jiwa yang masih mencari dirinya di tengah pusaran dunia. Seperti air yang mengalir tanpa henti, karya ini mengajarkan bahwa seni bukanlah pencapaian, melainkan perjalanan menuju keheningan yang tak pernah berakhir.
Published: Oct 22, 2025
Karya ini adalah perjalanan batin yang menetes dari kesadaran menuju kertas, terwujud melalui pensil biru dan sapuan emas akrilik—dua warna yang berkelindan antara dingin dan hangat, antara pikiran dan intuisi, antara tubuh dan jiwa. Di hadapan kita, figur perempuan muncul tidak sebagai potret, melainkan sebagai gema psikis yang mewujud dari ruang bawah sadar. Wajahnya hening, namun matanya kosong—tanpa bola mata, tanpa pusat pandang. Kekosongan itu bukan kehilangan, melainkan ruang tafsir, cermin yang tak lagi memantulkan dunia, melainkan menyerapnya. Ia adalah “subjek dalam cermin” sebagaimana dikatakan Lacan: diri yang mencari dirinya di balik bayangan, dan justru menemukan kehampaan yang paling manusiawi.
Lingkaran-lingkaran emas di sekitar wajah dan pada bola matanya adalah simbol dari ingatan yang tak pernah selesai—ingatan yang melayang, berputar, bertubrukan satu sama lain dalam pusaran waktu. Dalam teori Julia Kristeva, ini adalah momen abjection: saat tubuh dan bahasa, diri dan yang lain, tidak lagi memiliki batas yang jelas. Setiap lingkaran itu adalah serpihan memori yang menolak diam, melayang di udara seperti atom-atom kenangan yang mencari bentuk baru. Ia bergerak di antara trauma dan keindahan, di antara daya tarik dan keterasingan.
Baudrillard mungkin akan menyebut lingkaran-lingkaran itu sebagai citra hiperreal—tanda yang kehilangan rujukan, tetapi terus beredar dan berulang, menciptakan simulakra dari makna yang tak pernah hadir sepenuhnya. Dalam dunia visual ini, ingatan menjadi hologram, kenyataan menjadi pantulan dari pantulan. Mata yang kosong menjadi metafora dari “pandangan yang tak lagi melihat,” sementara pusaran emas menjadi bahasa bagi sesuatu yang tidak bisa diucapkan.
Dalam konteks Yassraf Amir Piliang, karya ini menggambarkan tragedi post-representasi: ketika tubuh dan tanda terperangkap dalam sirkulasi makna tanpa pusat. Garis-garis biru yang mengalir seperti arus sungai adalah narasi visual tentang kegelisahan itu. Ia menolak stagnasi, menolak keteraturan. Ia menjadi ruang bagi chaos yang estetis, bagi kelahiran makna yang terus menunda dirinya sendiri.
Setiawan Sabana pernah menulis bahwa kertas adalah makhluk yang bernafas. Dalam “Wening Lenyepan”, kertas benar-benar hidup—ia menyerap getar jiwa seniman, mengendapkan napasnya di antara serat-serat halus yang mencatat setiap gerakan tangan, setiap jeda pikir. Emas di atasnya bukan hanya cat, tetapi cahaya spiritual yang menandai titik-titik kesadaran; sedangkan biru adalah napas panjang yang membawa renungan, menenangkan sekaligus menenggelamkan.
Jacob Soemardjo akan melihat ini sebagai jiwa rupa: seni yang bukan sekadar visualisasi, melainkan ekspresi dari roh yang sedang bermeditasi di dalam bentuk. Di sinilah biru dan emas berdialog, antara bumi dan langit, antara logika dan intuisi. Keduanya menyusun semesta visual yang bergerak antara sunyi dan gemuruh batin.
Dengan demikian, “Wening Lenyepan” bukan sekadar representasi perempuan; ia adalah peta kesadaran manusia yang terus berputar dalam ingatan dan kehilangan. Sebuah refleksi tentang bagaimana mata—meski kosong—dapat melihat lebih jauh dari realitas, dan bagaimana lingkaran-lingkaran emas menjadi bahasa dari jiwa yang masih mencari dirinya di tengah pusaran dunia. Seperti air yang mengalir tanpa henti, karya ini mengajarkan bahwa seni bukanlah pencapaian, melainkan perjalanan menuju keheningan yang tak pernah berakhir.
Instagram: https://www.instagram.com/madam_senikrat/
Comments (0)
You must be logged in to comment.
More by deborah ram mozes
See All
Delete Post
Are you sure you want to delete this post?