Loading ...
Jangar
by deborah ram mozes
Dalam karya bertajuk Jangar, sebuah kata dari bahasa Sunda yang merujuk pada sakit kepala yang berat dan membatu, sang seniman memperlihatkan tubuh yang tak kunjung tenang. Tubuh perempuan dalam gambar ini seolah tertidur, namun bukan dalam ketenteraman — ia lebih tepat disebut sebagai tubuh yang menyerah, namun tidak dibebaskan. Karya ini dikerjakan dengan pensil biru di atas kertas berukuran 42,0 x 59,4 cm, menghadirkan garis-garis berliku yang tak hanya membentuk, tapi juga mengalir.
Rambut yang menjulur dan melilit bukan semata hiasan; ia menyuarakan kekacauan batin, gelombang pikiran yang tak reda, bahkan ketika tubuh memaksa untuk istirahat. Dalam keheningan yang dibangun oleh warna biru, penonton diajak mendengarkan suara yang tidak bersuara: denyut yang sakit, kantuk yang gagal, dan tubuh yang tidak tunduk pada waktu istirahat.
Namun Jangar tidak hanya berkisah tentang sakit kepala. Ia masuk ke dalam percakapan panjang mengenai bagaimana tubuh digambarkan dalam sejarah seni — baik dari tradisi Barat maupun khasanah visual Indonesia. Tubuh perempuan di sini tak diposisikan sebagai objek ideal atau erotik, melainkan sebagai medan perasaan dan tekanan; sebuah tubuh yang merasa, bukan hanya ditatap.
Karya ini juga beresonansi dengan pemikiran Baudrillard, di mana citra bukan lagi cermin realitas, melainkan simulakra yang berdiri sendiri — salinan dari salinan yang kehilangan asal. Perempuan dalam Jangar bukan tokoh, melainkan tanda: tanda dari pengalaman yang tak terucapkan, dari ketegangan yang tak dilihat. Bersamaan dengan itu, Foucault membisikkan bahwa tubuh adalah arena kuasa — ia diawasi, dikontrol, dan bahkan dalam tidur pun diminta untuk patuh.
Dalam Jangar, tidur adalah perjuangan, bukan penghiburan. Tubuh tak lagi hanya didefinisikan oleh bentuknya, tetapi oleh konflik internal yang dihidupkannya. Melalui garis, warna, dan gestur, karya ini menulis ulang narasi tubuh dalam seni — bukan dengan kemewahan visual, tetapi dengan kesadaran yang getir.
Published: Oct 22, 2025
Dalam karya bertajuk Jangar, sebuah kata dari bahasa Sunda yang merujuk pada sakit kepala yang berat dan membatu, sang seniman memperlihatkan tubuh yang tak kunjung tenang. Tubuh perempuan dalam gambar ini seolah tertidur, namun bukan dalam ketenteraman — ia lebih tepat disebut sebagai tubuh yang menyerah, namun tidak dibebaskan. Karya ini dikerjakan dengan pensil biru di atas kertas berukuran 42,0 x 59,4 cm, menghadirkan garis-garis berliku yang tak hanya membentuk, tapi juga mengalir.
Rambut yang menjulur dan melilit bukan semata hiasan; ia menyuarakan kekacauan batin, gelombang pikiran yang tak reda, bahkan ketika tubuh memaksa untuk istirahat. Dalam keheningan yang dibangun oleh warna biru, penonton diajak mendengarkan suara yang tidak bersuara: denyut yang sakit, kantuk yang gagal, dan tubuh yang tidak tunduk pada waktu istirahat.
Namun Jangar tidak hanya berkisah tentang sakit kepala. Ia masuk ke dalam percakapan panjang mengenai bagaimana tubuh digambarkan dalam sejarah seni — baik dari tradisi Barat maupun khasanah visual Indonesia. Tubuh perempuan di sini tak diposisikan sebagai objek ideal atau erotik, melainkan sebagai medan perasaan dan tekanan; sebuah tubuh yang merasa, bukan hanya ditatap.
Karya ini juga beresonansi dengan pemikiran Baudrillard, di mana citra bukan lagi cermin realitas, melainkan simulakra yang berdiri sendiri — salinan dari salinan yang kehilangan asal. Perempuan dalam Jangar bukan tokoh, melainkan tanda: tanda dari pengalaman yang tak terucapkan, dari ketegangan yang tak dilihat. Bersamaan dengan itu, Foucault membisikkan bahwa tubuh adalah arena kuasa — ia diawasi, dikontrol, dan bahkan dalam tidur pun diminta untuk patuh.
Dalam Jangar, tidur adalah perjuangan, bukan penghiburan. Tubuh tak lagi hanya didefinisikan oleh bentuknya, tetapi oleh konflik internal yang dihidupkannya. Melalui garis, warna, dan gestur, karya ini menulis ulang narasi tubuh dalam seni — bukan dengan kemewahan visual, tetapi dengan kesadaran yang getir.
Instagram: https://www.instagram.com/madam_senikrat/
Comments (0)
You must be logged in to comment.
More by deborah ram mozes
See All
Delete Post
Are you sure you want to delete this post?