HIGHLIGHT GALLERY
PLAYLIST BAND LIST & GENRES
POP UP GALLERY PHOTOGRAPHY VIDEOGRAPHY
SPOTLIGHT ROCKA ROOKIE
TERMS AND CONDITIONS PRIVACY POLICY HOW TO FAQ CONTACT US PASSPORT
PASSPORT LOGIN
HIGHLIGHT GALLERY
BAND LIST & GENRES PLAYLIST
POP UP GALLERY PHOTOGRAPHY VIDEOGRAPHY
SPOTLIGHT ROCKA ROOKIE
TERMS AND CONDITIONS PRIVACY POLICY HOW TO FAQ CONTACT US
Loading ...

POP UP GALLERY

“Ieu Kumaha Carana? Reuk Asup!!” (Bagaimana Caranya Ini? Susah Masuk!!)

/ ART / POP UP GALLERY / “Ieu Kumaha Carana? Reuk Asup!!” (Bagaimana Caranya Ini? Susah Masuk!!)
deborah ram mozes
“Ieu Kumaha Carana? Reuk Asup!!” (Bagaimana Caranya Ini? Susah Masuk!!)
by deborah ram mozes
“Ieu Kumaha Carana? Reuk Asup!!” (Bagaimana Caranya Ini? Susah Masuk!!)
Karya ini, digurat dengan pensil biru di atas kertas dan dibentuk bulat mengikuti tarikan garisnya, memantulkan pergulatan eksistensial seorang perempuan—tubuh yang menggulung, membulat, bersembunyi di dalam wadah yang tampak seperti keranjang, namun sejatinya adalah metafora dari ruang seni rupa itu sendiri. Ia bukan tubuh yang malas, bukan pula tubuh yang menyerah; melainkan tubuh yang telah melahap seluruh ide, intuisi, dan ledakan imajinasi hingga “kegemukan”—menjadi terlalu penuh untuk wadah yang disediakan dunia seni yang kaku dan usang. Tubuh itu kini berdesakan, berusaha memasuki “wadah” yang tak lagi memadai—ruang pamer yang lebih sibuk dengan nama daripada makna, lebih memuja koneksi daripada intuisi. Inilah alegori getir tentang seorang seniman yang terlalu subur dalam kreativitasnya hingga tak lagi bisa ditampung oleh sistem yang menolak yang tak punya “kebetulan sosial.” Dalam kacamata Lacan, figur perempuan ini adalah “the Real” yang menolak simbolisasi. Ia tidak ingin tunduk pada bahasa dan sistem tanda yang telah ditetapkan institusi seni. Ia adalah subjek yang tersingkir karena tubuhnya—secara metaforik—tak lagi muat dalam struktur simbolik yang dibangun oleh “yang lain”. Sementara Kristeva mungkin akan melihatnya sebagai tubuh semiotik, tubuh yang terus melawan artikulasi, yang menolak diam, yang bergetar antara bahasa dan prabahasanya. Ia melingkar bukan untuk menutup diri, tetapi untuk menjaga nyala hasrat kreatif yang tak dapat dipahami oleh tata bahasa seni konvensional. Baudrillard akan membaca situasi ini sebagai hiperrealitas yang ironis: di mana dunia seni telah menciptakan simulakra tentang kebebasan berekspresi, padahal yang dirayakan hanyalah citra-citra kosong dari kebebasan itu sendiri. Tubuh perempuan yang berusaha masuk ke dalam wadah menjadi simbol “kelebihan makna” yang tak lagi punya tempat. Ia terlalu nyata bagi dunia yang hanya memahami tiruan realitas. Kegemukan dalam karya ini bukan sekadar bentuk fisik, tetapi metafora tentang kelimpahan gagasan, tentang “kekenyangan simbolik” yang membuat seseorang tersingkir dari sistem karena tak sesuai dengan selera pasar atau estetika dominan. Dalam kerangka Yassraf Amir Piliang, ini adalah bentuk kritik terhadap estetika postrepresentasi—ketika seni telah kehilangan tubuhnya, menjadi jaringan tanda yang berputar tanpa makna. Sementara tubuh dalam karya ini justru hadir begitu kuat, begitu padat, hingga nyaris menembus batas kertas. Ia memadat menjadi kritik yang visual, tentang bagaimana sistem seni kerap gagal menampung kejujuran yang tidak punya “label”. Setiawan Sabana akan memandang kertas ini sebagai tubuh kedua—ia bernafas bersama kegelisahan sang seniman. Serat-serat kertas menahan berat tubuh yang melingkar itu, seperti dunia yang berusaha menahan pikiran yang terlalu liar. Dalam goresan biru yang halus, ada meditasi tentang batas: batas tubuh, batas ruang, batas makna. Karya ini menolak konsep estetika yang meninabobokan, dan justru merayakan absurditas: seni sebagai tubuh yang tidak muat, seni sebagai bentuk ketidaknyamanan yang luhur. Jacob Soemardjo barangkali akan menulis bahwa inilah rasa rupa—rasa yang muncul dari kedalaman diri yang sadar akan keterasingannya. Karya ini tidak ingin diterima, melainkan ingin diingat. Tubuh perempuan itu bukan simbol kelemahan, tetapi keberanian untuk tetap ada dalam bentuk yang tidak diinginkan oleh sistem. Ia adalah jiwa yang berkata: “Ieu kumaha carana? Reuk asup!!”—sebuah teriakan eksistensial yang lirih namun menggema, mewakili banyak seniman yang terjebak di ambang antara penciptaan dan pengakuan.
Published: Oct 22, 2025
Share to:
Facebook Twitter Linkedin
deborah ram mozes
MADAM123SENIKRAT456
by deborah ram mozes
Karya ini, digurat dengan pensil biru di atas kertas dan dibentuk bulat mengikuti tarikan garisnya, memantulkan pergulatan eksistensial seorang perempuan—tubuh yang menggulung, membulat, bersembunyi di dalam wadah yang tampak seperti keranjang, namun sejatinya adalah metafora dari ruang seni rupa itu sendiri. Ia bukan tubuh yang malas, bukan pula tubuh yang menyerah; melainkan tubuh yang telah melahap seluruh ide, intuisi, dan ledakan imajinasi hingga “kegemukan”—menjadi terlalu penuh untuk wadah yang disediakan dunia seni yang kaku dan usang. Tubuh itu kini berdesakan, berusaha memasuki “wadah” yang tak lagi memadai—ruang pamer yang lebih sibuk dengan nama daripada makna, lebih memuja koneksi daripada intuisi. Inilah alegori getir tentang seorang seniman yang terlalu subur dalam kreativitasnya hingga tak lagi bisa ditampung oleh sistem yang menolak yang tak punya “kebetulan sosial.” Dalam kacamata Lacan, figur perempuan ini adalah “the Real” yang menolak simbolisasi. Ia tidak ingin tunduk pada bahasa dan sistem tanda yang telah ditetapkan institusi seni. Ia adalah subjek yang tersingkir karena tubuhnya—secara metaforik—tak lagi muat dalam struktur simbolik yang dibangun oleh “yang lain”. Sementara Kristeva mungkin akan melihatnya sebagai tubuh semiotik, tubuh yang terus melawan artikulasi, yang menolak diam, yang bergetar antara bahasa dan prabahasanya. Ia melingkar bukan untuk menutup diri, tetapi untuk menjaga nyala hasrat kreatif yang tak dapat dipahami oleh tata bahasa seni konvensional. Baudrillard akan membaca situasi ini sebagai hiperrealitas yang ironis: di mana dunia seni telah menciptakan simulakra tentang kebebasan berekspresi, padahal yang dirayakan hanyalah citra-citra kosong dari kebebasan itu sendiri. Tubuh perempuan yang berusaha masuk ke dalam wadah menjadi simbol “kelebihan makna” yang tak lagi punya tempat. Ia terlalu nyata bagi dunia yang hanya memahami tiruan realitas. Kegemukan dalam karya ini bukan sekadar bentuk fisik, tetapi metafora tentang kelimpahan gagasan, tentang “kekenyangan simbolik” yang membuat seseorang tersingkir dari sistem karena tak sesuai dengan selera pasar atau estetika dominan. Dalam kerangka Yassraf Amir Piliang, ini adalah bentuk kritik terhadap estetika postrepresentasi—ketika seni telah kehilangan tubuhnya, menjadi jaringan tanda yang berputar tanpa makna. Sementara tubuh dalam karya ini justru hadir begitu kuat, begitu padat, hingga nyaris menembus batas kertas. Ia memadat menjadi kritik yang visual, tentang bagaimana sistem seni kerap gagal menampung kejujuran yang tidak punya “label”. Setiawan Sabana akan memandang kertas ini sebagai tubuh kedua—ia bernafas bersama kegelisahan sang seniman. Serat-serat kertas menahan berat tubuh yang melingkar itu, seperti dunia yang berusaha menahan pikiran yang terlalu liar. Dalam goresan biru yang halus, ada meditasi tentang batas: batas tubuh, batas ruang, batas makna. Karya ini menolak konsep estetika yang meninabobokan, dan justru merayakan absurditas: seni sebagai tubuh yang tidak muat, seni sebagai bentuk ketidaknyamanan yang luhur. Jacob Soemardjo barangkali akan menulis bahwa inilah rasa rupa—rasa yang muncul dari kedalaman diri yang sadar akan keterasingannya. Karya ini tidak ingin diterima, melainkan ingin diingat. Tubuh perempuan itu bukan simbol kelemahan, tetapi keberanian untuk tetap ada dalam bentuk yang tidak diinginkan oleh sistem. Ia adalah jiwa yang berkata: “Ieu kumaha carana? Reuk asup!!”—sebuah teriakan eksistensial yang lirih namun menggema, mewakili banyak seniman yang terjebak di ambang antara penciptaan dan pengakuan.
Instagram: https://www.instagram.com/madam_senikrat/

Comments (0)

You must be logged in to comment.
More by deborah ram mozes
See All
“Wening Lenyepan” (Keheningan yang Menyerap Segalanya) Jangar “Teu Ningali Tapi Nyaho” (Melihat Tapi Buta) “Aing Inya Éta” (Aku, Tapi Juga Bukan Aku)
Terms and Conditions Privacy Policy How To Contact Us
COPYRIGHT 2025 All rights reserved
COPYRIGHT 2025 All rights reserved

Delete Post

Are you sure you want to delete this post?

KICK MUSIC ART DCDC +
Band Photo
Song Title
0:00 0:00
play
pause
KICK MUSIC ART DCDC +