Loading ...
“Teu Ningali Tapi Nyaho” (Melihat Tapi Buta)
by deborah ram mozes
Karya ini, digurat dengan pensil biru dan dilapisi emas akrilik di atas kertas, menampilkan figur perempuan yang tubuhnya hanya separuh tampak—buah dada yang terlukis lembut menjadi satu-satunya bukti keberadaan jasmani—sementara sisanya larut dalam pusaran rambut yang menjalar seperti arus kesadaran bawah sadar. Wajahnya gusar, jangar, seperti menahan sesuatu yang tak bisa diucapkan. Matanya kosong—tanpa bola mata, tanpa pandang—melihat, namun sekaligus buta. Ia bukan figur yang meminta dilihat, melainkan figur yang sedang mengembalikan pandangan itu kepada kita. Seperti yang dikatakan Lacan, “the gaze” bukan milik subjek, melainkan kekuatan yang berbalik menyerang balik pengamatnya. Dalam konteks ini, pandangan sang perempuan menjadi refleksi atas kuasa melihat dalam kebudayaan patriarki: siapa yang sebenarnya berhak melihat, dan siapa yang dijadikan objek dari pandangan itu?
Rambutnya, yang menjalar, berputar, membentuk pusaran seperti aksara-aksara purba yang belum selesai dibaca, adalah bahasa yang datang dari ruang tak sadar. Ia adalah chora, istilah Kristeva untuk wilayah pra-linguistik tempat hasrat, suara, dan getaran bergema sebelum menjadi kata. Di situ tubuh berbicara tanpa struktur bahasa, dan seni menjadi ruang bagi bahasa yang ditolak dunia rasional. Maka, dalam setiap helai garis biru, kita membaca bahasa yang tak tertulis—bahasa perempuan yang menolak didefinisikan, yang menolak tunduk pada sintaksis lelaki dan sistem wacana seni yang terlalu mapan.
Baudrillard akan menyebut figur ini sebagai simulakra: citra yang telah kehilangan asalnya. Ia bukan lagi perempuan, melainkan hasil dari tumpukan makna yang diciptakan, direproduksi, dan dikonsumsi oleh masyarakat yang terobsesi pada bentuk, bukan esensi. Namun dalam tangan Deborah Ram Mozes, simulakra ini menjadi perlawanan terhadap dirinya sendiri. Ia tak ingin menjadi representasi, ia ingin menjadi gangguan. Tubuh tanpa bola mata itu adalah tubuh yang tidak memohon pengakuan, tapi memproklamasikan kesadarannya: aku ada, meski kau tak mampu menatapku dengan benar.
Latar emas, yang biasanya diasosiasikan dengan keagungan dan kemuliaan, di sini menjelma menjadi satire visual. Ia memantulkan ironi dunia seni yang masih membingkai tubuh perempuan dalam keindahan yang dikonstruksi. Emas di tangan Deborah bukanlah penghormatan, melainkan pisau. Ia menyayat persepsi tentang estetika feminin, menggugat pandangan yang menempatkan tubuh sebagai objek pemujaan. Seperti dikatakan Yassraf Amir Piliang, dunia kontemporer hidup dalam “hiperrealitas nilai”, di mana makna digantikan oleh citra, dan keindahan menjadi komoditas. Maka karya ini adalah bentuk counter-narrative terhadap pasar makna itu—suatu bentuk perlawanan hening yang justru menggema lewat visual yang lembut.
Dalam pandangan Setiawan Sabana, kertas bukan sekadar media, tetapi ruang spiritual di mana jiwa dan zaman bertemu. Serat kertas ini menjadi saksi dari kontemplasi panjang sang seniman: bagaimana menggurat kesunyian tanpa kehilangan daya gentarnya? Di sinilah rasa rupa yang dikatakan Jacob Soemardjo menemukan wujudnya—bukan rupa yang lahir dari teknik, tetapi dari getar batin yang meresapi setiap garis. Dan di sana pula gema Sanento Yuliman terasa, bahwa seni sejati selalu menyimpan “bekas tangan yang berpikir”, bukan sekadar gambar yang indah.
“Teu Ningali Tapi Nyaho” menjadi pernyataan paradoks: bahwa ketajaman tidak selalu datang dari penglihatan, melainkan dari kesadaran yang lebih dalam. Dalam kekosongan matanya, kita melihat kejujuran yang menolak ilusi visual. Dalam kegetiran ekspresinya, kita mendengar suara perempuan yang berani menggugat dunia yang hanya mau melihat kulit, tapi menolak membaca jiwa. Ia hadir sebagai tubuh yang tak tunduk, sebagai citra yang menolak menjadi citra. Di situlah seni menjadi doa—dan perempuan menjadi bahasa yang tak lagi butuh diterjemahkan.
Published: Oct 22, 2025
Karya ini, digurat dengan pensil biru dan dilapisi emas akrilik di atas kertas, menampilkan figur perempuan yang tubuhnya hanya separuh tampak—buah dada yang terlukis lembut menjadi satu-satunya bukti keberadaan jasmani—sementara sisanya larut dalam pusaran rambut yang menjalar seperti arus kesadaran bawah sadar. Wajahnya gusar, jangar, seperti menahan sesuatu yang tak bisa diucapkan. Matanya kosong—tanpa bola mata, tanpa pandang—melihat, namun sekaligus buta. Ia bukan figur yang meminta dilihat, melainkan figur yang sedang mengembalikan pandangan itu kepada kita. Seperti yang dikatakan Lacan, “the gaze” bukan milik subjek, melainkan kekuatan yang berbalik menyerang balik pengamatnya. Dalam konteks ini, pandangan sang perempuan menjadi refleksi atas kuasa melihat dalam kebudayaan patriarki: siapa yang sebenarnya berhak melihat, dan siapa yang dijadikan objek dari pandangan itu?
Rambutnya, yang menjalar, berputar, membentuk pusaran seperti aksara-aksara purba yang belum selesai dibaca, adalah bahasa yang datang dari ruang tak sadar. Ia adalah chora, istilah Kristeva untuk wilayah pra-linguistik tempat hasrat, suara, dan getaran bergema sebelum menjadi kata. Di situ tubuh berbicara tanpa struktur bahasa, dan seni menjadi ruang bagi bahasa yang ditolak dunia rasional. Maka, dalam setiap helai garis biru, kita membaca bahasa yang tak tertulis—bahasa perempuan yang menolak didefinisikan, yang menolak tunduk pada sintaksis lelaki dan sistem wacana seni yang terlalu mapan.
Baudrillard akan menyebut figur ini sebagai simulakra: citra yang telah kehilangan asalnya. Ia bukan lagi perempuan, melainkan hasil dari tumpukan makna yang diciptakan, direproduksi, dan dikonsumsi oleh masyarakat yang terobsesi pada bentuk, bukan esensi. Namun dalam tangan Deborah Ram Mozes, simulakra ini menjadi perlawanan terhadap dirinya sendiri. Ia tak ingin menjadi representasi, ia ingin menjadi gangguan. Tubuh tanpa bola mata itu adalah tubuh yang tidak memohon pengakuan, tapi memproklamasikan kesadarannya: aku ada, meski kau tak mampu menatapku dengan benar.
Latar emas, yang biasanya diasosiasikan dengan keagungan dan kemuliaan, di sini menjelma menjadi satire visual. Ia memantulkan ironi dunia seni yang masih membingkai tubuh perempuan dalam keindahan yang dikonstruksi. Emas di tangan Deborah bukanlah penghormatan, melainkan pisau. Ia menyayat persepsi tentang estetika feminin, menggugat pandangan yang menempatkan tubuh sebagai objek pemujaan. Seperti dikatakan Yassraf Amir Piliang, dunia kontemporer hidup dalam “hiperrealitas nilai”, di mana makna digantikan oleh citra, dan keindahan menjadi komoditas. Maka karya ini adalah bentuk counter-narrative terhadap pasar makna itu—suatu bentuk perlawanan hening yang justru menggema lewat visual yang lembut.
Dalam pandangan Setiawan Sabana, kertas bukan sekadar media, tetapi ruang spiritual di mana jiwa dan zaman bertemu. Serat kertas ini menjadi saksi dari kontemplasi panjang sang seniman: bagaimana menggurat kesunyian tanpa kehilangan daya gentarnya? Di sinilah rasa rupa yang dikatakan Jacob Soemardjo menemukan wujudnya—bukan rupa yang lahir dari teknik, tetapi dari getar batin yang meresapi setiap garis. Dan di sana pula gema Sanento Yuliman terasa, bahwa seni sejati selalu menyimpan “bekas tangan yang berpikir”, bukan sekadar gambar yang indah.
“Teu Ningali Tapi Nyaho” menjadi pernyataan paradoks: bahwa ketajaman tidak selalu datang dari penglihatan, melainkan dari kesadaran yang lebih dalam. Dalam kekosongan matanya, kita melihat kejujuran yang menolak ilusi visual. Dalam kegetiran ekspresinya, kita mendengar suara perempuan yang berani menggugat dunia yang hanya mau melihat kulit, tapi menolak membaca jiwa. Ia hadir sebagai tubuh yang tak tunduk, sebagai citra yang menolak menjadi citra. Di situlah seni menjadi doa—dan perempuan menjadi bahasa yang tak lagi butuh diterjemahkan.
Instagram: https://www.instagram.com/madam_senikrat/
Comments (0)
You must be logged in to comment.
More by deborah ram mozes
See All
Delete Post
Are you sure you want to delete this post?