HIGHLIGHT GALLERY
PLAYLIST BAND LIST & GENRES
POP UP GALLERY PHOTOGRAPHY VIDEOGRAPHY
SPOTLIGHT ROCKA ROOKIE
TERMS AND CONDITIONS PRIVACY POLICY HOW TO FAQ CONTACT US PASSPORT
PASSPORT LOGIN
HIGHLIGHT GALLERY
BAND LIST & GENRES PLAYLIST
POP UP GALLERY PHOTOGRAPHY VIDEOGRAPHY
SPOTLIGHT ROCKA ROOKIE
TERMS AND CONDITIONS PRIVACY POLICY HOW TO FAQ CONTACT US
Loading ...

POP UP GALLERY

“Bulao” (Perempuan yang Ditekuk, Tapi Tak Pernah Patah)

/ ART / POP UP GALLERY / “Bulao” (Perempuan yang Ditekuk, Tapi Tak Pernah Patah)
deborah ram mozes
“Bulao” (Perempuan yang Ditekuk, Tapi Tak Pernah Patah)
by deborah ram mozes
“Bulao” (Perempuan yang Ditekuk, Tapi Tak Pernah Patah)
“Bulao”—dalam bahasa Sunda berarti biru—adalah warna yang menenangkan, tetapi juga menyimpan kesedihan yang paling dalam. Dalam karya ini, Deborah Ram Mozes memanifestasikan tubuh perempuan yang menunduk, menekuk, terlipat di dalam bentuk yang lembut namun tegas. Garis-garis spiral yang mengalir di seluruh tubuhnya bukan sekadar motif estetis; ia adalah tanda-tanda luka, napas yang tertahan, dan riak-riak kesadaran yang masih berdenyut di bawah kulit sejarah. Tubuh perempuan dalam Bulao adalah tubuh yang terus dipaksa untuk patuh—oleh adat, oleh agama, oleh sistem sosial, dan oleh dunia seni yang dibangun dari mata laki-laki. Ia menjadi “tubuh yang ditekuk,” sebagaimana perempuan dalam peradaban selalu diharuskan menunduk agar disebut bermoral, menahan diri agar disebut elegan, dan diam agar disebut suci. Namun, sebagaimana chora dalam teori Julia Kristeva, karya ini tidak berhenti pada citra penderitaan. Chora adalah ruang sebelum bahasa, tempat getar tubuh dan ritme kehidupan bergaung tanpa artikulasi. Dalam Bulao, tubuh perempuan itu menjadi chora yang berdenyut—sebuah ruang asal, rahim semesta, tempat bahasa belum dibentuk dan kuasa belum beroperasi. Tubuh yang tampak “terlipat” bukan tanda ketundukan, melainkan strategi eksistensial untuk bertahan. Ia menutup dirinya bukan untuk menyerah, tapi untuk melindungi kesadarannya dari tatapan yang ingin menundukkannya. Di sinilah momen genting itu terjadi: saat tubuh perempuan menjadi locus perlawanan, tempat antara yang melahirkan kehidupan dan menggugat struktur yang selama ini mengekangnya. Deleuze dan Guattari akan menyebut tindakan ini sebagai kerja bricoleur—seni yang lahir dari serpihan, dari sisa-sisa, dari sesuatu yang tidak diakui sistem. Deborah adalah bricoleuse yang memungut potongan-potongan identitas dan makna yang terpecah dalam sejarah perempuan, lalu merangkainya kembali di atas kertas sebagai pernyataan politik dan spiritual. Tubuh biru itu bukan tubuh ideal, melainkan tubuh yang direkonstruksi dari ingatan kolektif perempuan tentang kerja, rasa, dan luka. Seperti yang diungkap John Berger, perempuan selalu “dilihat” sebelum ia “ada.” Maka, Bulao adalah upaya untuk membalikkan pandangan itu—agar yang dilihat menjadi yang melihat, agar subjek kembali merebut posisinya dari tatapan publik yang dingin. Dalam konteks pemikiran Yassraf Amir Piliang, karya ini mencerminkan “ruang estetika kritis”—sebuah wilayah di mana keindahan tidak lagi menjadi tujuan, melainkan perlawanan terhadap sistem nilai yang membungkam. Bulao menjadi sindiran terhadap dunia seni kontemporer yang terlalu cepat mengagungkan bentuk, sambil melupakan makna. Baudrillard akan menyebutnya sebagai pembalikan terhadap hiperrealitas: ketika citra perempuan yang “ideal”—yang halus, bersih, dan teratur—diruntuhkan oleh tubuh biru yang berani menampilkan dirinya sebagai serpihan. Setiawan Sabana akan melihat kertas dalam karya ini sebagai tubuh spiritual—media yang hidup, bernapas, menyerap pergulatan zaman. Di dalam lapisan-lapisan birunya, ada meditasi tentang kesunyian dan kekuatan yang tak kasatmata. Jacob Soemardjo akan menamai karya ini sebagai rasa rupa, wujud dari rasa yang berpikir dan berpikir yang berasa. Ia tidak melukis tubuh perempuan, ia melukis ingatan dunia tentang perempuan—yang telah lama dilipat, namun tak pernah benar-benar diam. Sanento Yuliman akan menegaskan bahwa tangan Deborah bekerja seperti jiwa yang menulis puisi visual: tidak sentimental, tapi penuh kesadaran akan sejarah dan posisi. Maka Bulao tidak sekadar menghadirkan keindahan, tetapi memperlihatkan bagaimana keindahan itu lahir dari penderitaan, keberanian, dan kejujuran untuk menghadapi kekejian realitas. Perempuan dalam karya ini mungkin tampak menunduk, tapi sesungguhnya sedang berdoa—kepada dirinya sendiri, kepada dunia yang terus berubah, kepada rahim semesta yang menyimpan semua kemungkinan. Dari biru yang dingin inilah, Deborah menegaskan bahwa perempuan bukan makhluk yang rapuh, tetapi sumber pengetahuan yang pedih: seperti air yang mengalir dalam kegelapan, ia diam, ia dalam, tapi ia juga tak pernah berhenti menggerus batu-batu kekuasaan di sekitarnya.
Published: Oct 22, 2025
Share to:
Facebook Twitter Linkedin
deborah ram mozes
MADAM123SENIKRAT456
by deborah ram mozes
“Bulao”—dalam bahasa Sunda berarti biru—adalah warna yang menenangkan, tetapi juga menyimpan kesedihan yang paling dalam. Dalam karya ini, Deborah Ram Mozes memanifestasikan tubuh perempuan yang menunduk, menekuk, terlipat di dalam bentuk yang lembut namun tegas. Garis-garis spiral yang mengalir di seluruh tubuhnya bukan sekadar motif estetis; ia adalah tanda-tanda luka, napas yang tertahan, dan riak-riak kesadaran yang masih berdenyut di bawah kulit sejarah. Tubuh perempuan dalam Bulao adalah tubuh yang terus dipaksa untuk patuh—oleh adat, oleh agama, oleh sistem sosial, dan oleh dunia seni yang dibangun dari mata laki-laki. Ia menjadi “tubuh yang ditekuk,” sebagaimana perempuan dalam peradaban selalu diharuskan menunduk agar disebut bermoral, menahan diri agar disebut elegan, dan diam agar disebut suci. Namun, sebagaimana chora dalam teori Julia Kristeva, karya ini tidak berhenti pada citra penderitaan. Chora adalah ruang sebelum bahasa, tempat getar tubuh dan ritme kehidupan bergaung tanpa artikulasi. Dalam Bulao, tubuh perempuan itu menjadi chora yang berdenyut—sebuah ruang asal, rahim semesta, tempat bahasa belum dibentuk dan kuasa belum beroperasi. Tubuh yang tampak “terlipat” bukan tanda ketundukan, melainkan strategi eksistensial untuk bertahan. Ia menutup dirinya bukan untuk menyerah, tapi untuk melindungi kesadarannya dari tatapan yang ingin menundukkannya. Di sinilah momen genting itu terjadi: saat tubuh perempuan menjadi locus perlawanan, tempat antara yang melahirkan kehidupan dan menggugat struktur yang selama ini mengekangnya. Deleuze dan Guattari akan menyebut tindakan ini sebagai kerja bricoleur—seni yang lahir dari serpihan, dari sisa-sisa, dari sesuatu yang tidak diakui sistem. Deborah adalah bricoleuse yang memungut potongan-potongan identitas dan makna yang terpecah dalam sejarah perempuan, lalu merangkainya kembali di atas kertas sebagai pernyataan politik dan spiritual. Tubuh biru itu bukan tubuh ideal, melainkan tubuh yang direkonstruksi dari ingatan kolektif perempuan tentang kerja, rasa, dan luka. Seperti yang diungkap John Berger, perempuan selalu “dilihat” sebelum ia “ada.” Maka, Bulao adalah upaya untuk membalikkan pandangan itu—agar yang dilihat menjadi yang melihat, agar subjek kembali merebut posisinya dari tatapan publik yang dingin. Dalam konteks pemikiran Yassraf Amir Piliang, karya ini mencerminkan “ruang estetika kritis”—sebuah wilayah di mana keindahan tidak lagi menjadi tujuan, melainkan perlawanan terhadap sistem nilai yang membungkam. Bulao menjadi sindiran terhadap dunia seni kontemporer yang terlalu cepat mengagungkan bentuk, sambil melupakan makna. Baudrillard akan menyebutnya sebagai pembalikan terhadap hiperrealitas: ketika citra perempuan yang “ideal”—yang halus, bersih, dan teratur—diruntuhkan oleh tubuh biru yang berani menampilkan dirinya sebagai serpihan. Setiawan Sabana akan melihat kertas dalam karya ini sebagai tubuh spiritual—media yang hidup, bernapas, menyerap pergulatan zaman. Di dalam lapisan-lapisan birunya, ada meditasi tentang kesunyian dan kekuatan yang tak kasatmata. Jacob Soemardjo akan menamai karya ini sebagai rasa rupa, wujud dari rasa yang berpikir dan berpikir yang berasa. Ia tidak melukis tubuh perempuan, ia melukis ingatan dunia tentang perempuan—yang telah lama dilipat, namun tak pernah benar-benar diam. Sanento Yuliman akan menegaskan bahwa tangan Deborah bekerja seperti jiwa yang menulis puisi visual: tidak sentimental, tapi penuh kesadaran akan sejarah dan posisi. Maka Bulao tidak sekadar menghadirkan keindahan, tetapi memperlihatkan bagaimana keindahan itu lahir dari penderitaan, keberanian, dan kejujuran untuk menghadapi kekejian realitas. Perempuan dalam karya ini mungkin tampak menunduk, tapi sesungguhnya sedang berdoa—kepada dirinya sendiri, kepada dunia yang terus berubah, kepada rahim semesta yang menyimpan semua kemungkinan. Dari biru yang dingin inilah, Deborah menegaskan bahwa perempuan bukan makhluk yang rapuh, tetapi sumber pengetahuan yang pedih: seperti air yang mengalir dalam kegelapan, ia diam, ia dalam, tapi ia juga tak pernah berhenti menggerus batu-batu kekuasaan di sekitarnya.
Instagram: https://www.instagram.com/madam_senikrat/

Comments (0)

You must be logged in to comment.
More by deborah ram mozes
See All
“Wening Lenyepan” (Keheningan yang Menyerap Segalanya) “Ieu Kumaha Carana? Reuk Asup!!” (Bagaimana Caranya Ini? Susah Masuk!!) Jangar “Teu Ningali Tapi Nyaho” (Melihat Tapi Buta)
Terms and Conditions Privacy Policy How To Contact Us
COPYRIGHT 2025 All rights reserved
COPYRIGHT 2025 All rights reserved

Delete Post

Are you sure you want to delete this post?

KICK MUSIC ART DCDC +
Band Photo
Song Title
0:00 0:00
play
pause
KICK MUSIC ART DCDC +