Loading ...
Buricak Burinong
by deborah ram mozes
Judul: “Buricak Burinong”
(Painting on Canvas, Gold, Bronze, and Red Acrylic Paint, 2024)
“Buricak Burinong” — dalam bahasa Sunda berarti menyala — adalah perenungan visual tentang tubuh, eksistensi, dan posisi perempuan dalam dunia seni rupa yang patriarkal. Dalam karya ini, tubuh perempuan dihadirkan dalam bentuk kubistik: terpecah, terpotong, namun tetap memancarkan energi yang utuh. Ia bukan tubuh yang tenang, melainkan tubuh yang bergetar, penuh tegangan antara bentuk dan makna — sebuah representasi estetika paradoks sebagaimana yang dikemukakan oleh Jacob Soemardjo, bahwa keindahan Indonesia lahir dari pertentangan yang harmonis antara yang spiritual dan material, yang terpecah namun menyatu.
Warna emas dan perunggu menjadi lapisan simbolik yang menandai sakralitas dan kekuatan. Dalam konteks ini, tubuh perempuan dilapisi dengan kilau yang ambigu: keindahan yang memikat sekaligus menjerat, kemuliaan yang menuntut pengorbanan. Warna merah, ditempatkan di ujung-ujung bidang yang luas, menjadi pusat energi visual — tanda dari bagaimana perempuan sering dijadikan titik pengenalan dalam tatanan sosial dan estetika yang dibangun oleh pandangan laki-laki. Seperti dikatakan John Berger dalam Ways of Seeing, “Men look at women. Women watch themselves being looked at.” Tubuh perempuan, dalam pandangan ini, selalu diatur oleh tatapan.
Namun dalam karya ini, Deborah Ram Mozes membalikkan logika tersebut. Simbol merah bukan sekadar sensualitas; ia adalah penanda resistensi. Ia menandai perlawanan terhadap cara pandang yang mereduksi tubuh menjadi objek. Emas dan perunggu yang melapisi bidang justru menegaskan tubuh sebagai ruang spiritual, bukan konsumsi visual.
Dalam pemaknaan Julia Kristeva, karya ini berada dalam wilayah chora — ruang prabahasa tempat tubuh dan makna menyatu sebelum dikontrol oleh struktur sosial. “Buricak Burinong” adalah tubuh yang menyala dari dalam, bukan karena ingin dikenali, tetapi karena menolak padam.
Deborah menghadirkan sosok perempuan sebagai pusat kesadaran — bukan objek, melainkan subjek yang menggugat. Tubuh kubistiknya adalah metafora bagi realitas perempuan yang selalu “dibentuk ulang,” dipotong agar sesuai dengan pandangan sosial. Namun dalam setiap potongan, ia tetap menyala: buricak burinong — api lembut yang terus hidup di tengah gelapnya tatapan dunia seni yang bias.
Published: Oct 27, 2025
Judul: “Buricak Burinong”
(Painting on Canvas, Gold, Bronze, and Red Acrylic Paint, 2024)
“Buricak Burinong” — dalam bahasa Sunda berarti menyala — adalah perenungan visual tentang tubuh, eksistensi, dan posisi perempuan dalam dunia seni rupa yang patriarkal. Dalam karya ini, tubuh perempuan dihadirkan dalam bentuk kubistik: terpecah, terpotong, namun tetap memancarkan energi yang utuh. Ia bukan tubuh yang tenang, melainkan tubuh yang bergetar, penuh tegangan antara bentuk dan makna — sebuah representasi estetika paradoks sebagaimana yang dikemukakan oleh Jacob Soemardjo, bahwa keindahan Indonesia lahir dari pertentangan yang harmonis antara yang spiritual dan material, yang terpecah namun menyatu.
Warna emas dan perunggu menjadi lapisan simbolik yang menandai sakralitas dan kekuatan. Dalam konteks ini, tubuh perempuan dilapisi dengan kilau yang ambigu: keindahan yang memikat sekaligus menjerat, kemuliaan yang menuntut pengorbanan. Warna merah, ditempatkan di ujung-ujung bidang yang luas, menjadi pusat energi visual — tanda dari bagaimana perempuan sering dijadikan titik pengenalan dalam tatanan sosial dan estetika yang dibangun oleh pandangan laki-laki. Seperti dikatakan John Berger dalam Ways of Seeing, “Men look at women. Women watch themselves being looked at.” Tubuh perempuan, dalam pandangan ini, selalu diatur oleh tatapan.
Namun dalam karya ini, Deborah Ram Mozes membalikkan logika tersebut. Simbol merah bukan sekadar sensualitas; ia adalah penanda resistensi. Ia menandai perlawanan terhadap cara pandang yang mereduksi tubuh menjadi objek. Emas dan perunggu yang melapisi bidang justru menegaskan tubuh sebagai ruang spiritual, bukan konsumsi visual.
Dalam pemaknaan Julia Kristeva, karya ini berada dalam wilayah chora — ruang prabahasa tempat tubuh dan makna menyatu sebelum dikontrol oleh struktur sosial. “Buricak Burinong” adalah tubuh yang menyala dari dalam, bukan karena ingin dikenali, tetapi karena menolak padam.
Deborah menghadirkan sosok perempuan sebagai pusat kesadaran — bukan objek, melainkan subjek yang menggugat. Tubuh kubistiknya adalah metafora bagi realitas perempuan yang selalu “dibentuk ulang,” dipotong agar sesuai dengan pandangan sosial. Namun dalam setiap potongan, ia tetap menyala: buricak burinong — api lembut yang terus hidup di tengah gelapnya tatapan dunia seni yang bias.
Instagram: https://www.instagram.com/madam_senikrat/
Comments (0)
You must be logged in to comment.
More by deborah ram mozes
See All
Delete Post
Are you sure you want to delete this post?