HIGHLIGHT GALLERY
PLAYLIST BAND LIST & GENRES
POP UP GALLERY PHOTOGRAPHY VIDEOGRAPHY
SPOTLIGHT ROCKA ROOKIE
TERMS AND CONDITIONS PRIVACY POLICY HOW TO FAQ CONTACT US PASSPORT
PASSPORT LOGIN
HIGHLIGHT GALLERY
BAND LIST & GENRES PLAYLIST
POP UP GALLERY PHOTOGRAPHY VIDEOGRAPHY
SPOTLIGHT ROCKA ROOKIE
TERMS AND CONDITIONS PRIVACY POLICY HOW TO FAQ CONTACT US
Loading ...

POP UP GALLERY

IEU SAHA?

/ ART / POP UP GALLERY / IEU SAHA?
deborah ram mozes
IEU SAHA?
by deborah ram mozes
IEU SAHA?
Judul: “Ieu Saha?” (Blue Pencil on Paper, 2024) “Ieu Saha?” — dalam bahasa Sunda berarti “Siapa ini?” — adalah pertanyaan eksistensial tentang identitas, wajah, dan jiwa dalam konteks keindonesiaan yang kian kabur di tengah arus globalisasi budaya. Karya ini terinspirasi dari pemikiran Jacob Soemardjo dalam Mencari Sukma Indonesia, di mana ia menegaskan bahwa filsafat Indonesia adalah “pemikiran primordial” — pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan budaya, seni, dan kehidupan masyarakat Nusantara. Namun, di era modern, filsafat lama itu tergantikan oleh rasionalitas Barat: individualistik, materialistik, dan kehilangan rasa kosmis. Wajah dalam karya ini memancarkan kebingungan identitas: tampak asing, namun juga akrab; membawa jejak ketimuran, namun diselimuti citra peradaban luar. Garis-garis biru yang tegas namun dingin menggambarkan ambiguitas tersebut — sebuah ketegangan antara yang lokal dan global, antara yang sakral dan yang estetis, antara jiwa dan bentuk. Seperti yang dikritik G. Sidharta, banyak perupa Indonesia kehilangan “jiwa ketimuran”-nya. Seni menjadi pameran bentuk tanpa makna, imitasi tanpa akar. Karya ini menolak keterputusan itu — figur perempuan dengan wajah hibrid ini bukan sekadar potret, tetapi cermin kegelisahan perupa masa kini: di manakah tempat kita berdiri di antara Timur yang mulai dilupakan dan Barat yang begitu dominan? “Ieu Saha?” bukan sekadar pertanyaan tentang sosok dalam gambar, melainkan tentang diri kolektif bangsa — tentang bagaimana wajah budaya kita kini tampak terpotong, teradopsi, dan direkayasa agar sesuai dengan selera global. Namun di balik tatapan tajam itu, masih ada nyala keindonesiaan yang mencari sukma, sebagaimana yang dimaksud Soemardjo: mencari keseimbangan antara akar dan arah, antara masa silam dan masa kini, agar seni tidak sekadar meniru dunia luar, tetapi kembali menata jiwanya sendiri.
Published: Oct 27, 2025
Share to:
Facebook Twitter Linkedin
deborah ram mozes
MADAM123SENIKRAT456
by deborah ram mozes
Judul: “Ieu Saha?” (Blue Pencil on Paper, 2024) “Ieu Saha?” — dalam bahasa Sunda berarti “Siapa ini?” — adalah pertanyaan eksistensial tentang identitas, wajah, dan jiwa dalam konteks keindonesiaan yang kian kabur di tengah arus globalisasi budaya. Karya ini terinspirasi dari pemikiran Jacob Soemardjo dalam Mencari Sukma Indonesia, di mana ia menegaskan bahwa filsafat Indonesia adalah “pemikiran primordial” — pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan budaya, seni, dan kehidupan masyarakat Nusantara. Namun, di era modern, filsafat lama itu tergantikan oleh rasionalitas Barat: individualistik, materialistik, dan kehilangan rasa kosmis. Wajah dalam karya ini memancarkan kebingungan identitas: tampak asing, namun juga akrab; membawa jejak ketimuran, namun diselimuti citra peradaban luar. Garis-garis biru yang tegas namun dingin menggambarkan ambiguitas tersebut — sebuah ketegangan antara yang lokal dan global, antara yang sakral dan yang estetis, antara jiwa dan bentuk. Seperti yang dikritik G. Sidharta, banyak perupa Indonesia kehilangan “jiwa ketimuran”-nya. Seni menjadi pameran bentuk tanpa makna, imitasi tanpa akar. Karya ini menolak keterputusan itu — figur perempuan dengan wajah hibrid ini bukan sekadar potret, tetapi cermin kegelisahan perupa masa kini: di manakah tempat kita berdiri di antara Timur yang mulai dilupakan dan Barat yang begitu dominan? “Ieu Saha?” bukan sekadar pertanyaan tentang sosok dalam gambar, melainkan tentang diri kolektif bangsa — tentang bagaimana wajah budaya kita kini tampak terpotong, teradopsi, dan direkayasa agar sesuai dengan selera global. Namun di balik tatapan tajam itu, masih ada nyala keindonesiaan yang mencari sukma, sebagaimana yang dimaksud Soemardjo: mencari keseimbangan antara akar dan arah, antara masa silam dan masa kini, agar seni tidak sekadar meniru dunia luar, tetapi kembali menata jiwanya sendiri.
Instagram: https://www.instagram.com/madam_senikrat/

Comments (0)

You must be logged in to comment.
More by deborah ram mozes
See All
“Wening Lenyepan” (Keheningan yang Menyerap Segalanya) “Ieu Kumaha Carana? Reuk Asup!!” (Bagaimana Caranya Ini? Susah Masuk!!) Jangar “Teu Ningali Tapi Nyaho” (Melihat Tapi Buta)
Terms and Conditions Privacy Policy How To Contact Us
COPYRIGHT 2025 All rights reserved
COPYRIGHT 2025 All rights reserved

Delete Post

Are you sure you want to delete this post?

KICK MUSIC ART DCDC +
Band Photo
Song Title
0:00 0:00
play
pause
KICK MUSIC ART DCDC +