Loading ...
“Lada Lada Lada” (Pedas yang Menyembuhkan)
by deborah ram mozes
“Lada” dalam bahasa Sunda berarti pedas, namun dalam lapisan maknanya yang lebih dalam, ia tidak hanya tentang rasa di lidah, melainkan tentang seluruh pergulatan eksistensi. Pedas adalah sensasi yang menggugah kesadaran, menampar ketenangan palsu, sekaligus menandai kehadiran yang tidak bisa diabaikan. Dalam Lada Lada Lada, Deborah Ram Mozes menampilkan sosok keperempuanan bukan sebagai citra lembut yang jinak, melainkan sebagai tubuh yang memiliki “rasa” — pedas, menggigit, tapi juga segar dan ranum. Tubuh perempuan dalam karya ini adalah medan tafsir: ia bisa menjadi santapan bagi pandangan publik, tapi sekaligus racun yang menyadarkan dari kenikmatan yang palsu. Inilah tubuh yang selalu diatur, diukur, dan dikurung oleh sistem sosial yang menuntutnya untuk “tidak terlalu pedas.”
Karya ini berdiri sebagai refleksi atas plastic society—masyarakat yang mengemas citra perempuan sebagai komoditas visual: indah tapi terkendali, sensual tapi teratur, bebas tapi tidak boleh melampaui batas. Figur-figur perempuan dalam karya ini tampak terfragmentasi, bergulung di antara lapisan kertas yang berpotongan. Mereka seperti ingin keluar dari bingkai, dari ruang putih yang dingin dan steril—simbol dari dunia seni rupa yang sering menyingkirkan kejujuran tubuh dan menggantikannya dengan estetika yang mudah dicerna. Deborah menolak keindahan yang tunduk; ia menghidupkan keindahan yang melawan.
Dalam bacaan Lacanian, “Lada Lada Lada” dapat dibaca sebagai perlawanan terhadap gaze—tatapan laki-laki yang membentuk subjek perempuan sebagai objek representasi. Di sini, tubuh-tubuh itu tidak menunggu untuk ditatap; mereka justru menatap balik dengan keberanian yang ambigu: sensual tapi marah, lembut tapi tegas. Kristeva akan menyebutnya sebagai chora—bahasa bawah sadar yang menolak struktur patriarki simbolik. Bahasa ini bukan logis, melainkan emosional, organik, seperti tubuh itu sendiri. Setiap garis dan potongan kertas menjadi gestur semiotik yang mengucapkan apa yang tidak dapat diucapkan dengan kata.
Baudrillard melihat dalam karya ini hiperrealitas dari tubuh perempuan di dunia kontemporer: citra tentang “wanita modern” yang diglorifikasi tapi tak pernah benar-benar bebas dari mekanisme kontrol sosial. Tubuh menjadi tanda yang diperjualbelikan, kehilangan makna asalnya. Namun Deborah mengembalikan tubuh itu pada makna spiritualnya—seperti dalam Kabuyutan dan ajaran Sunda Wiwitan, di mana tubuh perempuan adalah wadah keseimbangan cipta, rasa, karsa. Ia bukan sekadar bentuk, melainkan pusat semesta yang menyatukan alam dan jiwa. Dengan demikian, “pedas” dalam konteks ini bukan provokasi, melainkan manifestasi dari energi hidup, rasa hirup.
Yassraf Amir Piliang akan menyebutnya sebagai ruang semiotik kritis—ruang yang menggabungkan antara estetika, etika, dan eksistensi dalam satu tubuh visual. Setiawan Sabana melihat kertas di sini sebagai entitas spiritual yang merekam napas zaman: lapisan demi lapisan kertas bagaikan lapisan pengalaman perempuan—terluka, terbungkus, namun tetap bergetar. Jacob Soemardjo menempatkan karya ini dalam tradisi rasa rupa—seni yang tumbuh dari kesadaran batin, bukan sekadar keindahan formal. Sedangkan Sanento Yuliman akan menyebut tangan Deborah sebagai tangan yang berpikir dan menggugat, tangan yang mengembalikan makna “perempuan” dari dekorasi menjadi kekuatan kosmik.
“Lada Lada Lada” adalah risalah tentang keberanian untuk menjadi pedas di dunia yang menuntut kepatuhan. Tentang tubuh yang menolak diam, tentang perempuan yang tahu rasanya eksistensi. Pedas yang bukan untuk menyakiti, tetapi untuk membangunkan. Sebab, sebagaimana ajaran Sunda Wiwitan, segala yang hidup harus punya rasa. Dan rasa, ketika jujur, memang selalu sedikit menyengat.
Published: Oct 22, 2025
“Lada” dalam bahasa Sunda berarti pedas, namun dalam lapisan maknanya yang lebih dalam, ia tidak hanya tentang rasa di lidah, melainkan tentang seluruh pergulatan eksistensi. Pedas adalah sensasi yang menggugah kesadaran, menampar ketenangan palsu, sekaligus menandai kehadiran yang tidak bisa diabaikan. Dalam Lada Lada Lada, Deborah Ram Mozes menampilkan sosok keperempuanan bukan sebagai citra lembut yang jinak, melainkan sebagai tubuh yang memiliki “rasa” — pedas, menggigit, tapi juga segar dan ranum. Tubuh perempuan dalam karya ini adalah medan tafsir: ia bisa menjadi santapan bagi pandangan publik, tapi sekaligus racun yang menyadarkan dari kenikmatan yang palsu. Inilah tubuh yang selalu diatur, diukur, dan dikurung oleh sistem sosial yang menuntutnya untuk “tidak terlalu pedas.”
Karya ini berdiri sebagai refleksi atas plastic society—masyarakat yang mengemas citra perempuan sebagai komoditas visual: indah tapi terkendali, sensual tapi teratur, bebas tapi tidak boleh melampaui batas. Figur-figur perempuan dalam karya ini tampak terfragmentasi, bergulung di antara lapisan kertas yang berpotongan. Mereka seperti ingin keluar dari bingkai, dari ruang putih yang dingin dan steril—simbol dari dunia seni rupa yang sering menyingkirkan kejujuran tubuh dan menggantikannya dengan estetika yang mudah dicerna. Deborah menolak keindahan yang tunduk; ia menghidupkan keindahan yang melawan.
Dalam bacaan Lacanian, “Lada Lada Lada” dapat dibaca sebagai perlawanan terhadap gaze—tatapan laki-laki yang membentuk subjek perempuan sebagai objek representasi. Di sini, tubuh-tubuh itu tidak menunggu untuk ditatap; mereka justru menatap balik dengan keberanian yang ambigu: sensual tapi marah, lembut tapi tegas. Kristeva akan menyebutnya sebagai chora—bahasa bawah sadar yang menolak struktur patriarki simbolik. Bahasa ini bukan logis, melainkan emosional, organik, seperti tubuh itu sendiri. Setiap garis dan potongan kertas menjadi gestur semiotik yang mengucapkan apa yang tidak dapat diucapkan dengan kata.
Baudrillard melihat dalam karya ini hiperrealitas dari tubuh perempuan di dunia kontemporer: citra tentang “wanita modern” yang diglorifikasi tapi tak pernah benar-benar bebas dari mekanisme kontrol sosial. Tubuh menjadi tanda yang diperjualbelikan, kehilangan makna asalnya. Namun Deborah mengembalikan tubuh itu pada makna spiritualnya—seperti dalam Kabuyutan dan ajaran Sunda Wiwitan, di mana tubuh perempuan adalah wadah keseimbangan cipta, rasa, karsa. Ia bukan sekadar bentuk, melainkan pusat semesta yang menyatukan alam dan jiwa. Dengan demikian, “pedas” dalam konteks ini bukan provokasi, melainkan manifestasi dari energi hidup, rasa hirup.
Yassraf Amir Piliang akan menyebutnya sebagai ruang semiotik kritis—ruang yang menggabungkan antara estetika, etika, dan eksistensi dalam satu tubuh visual. Setiawan Sabana melihat kertas di sini sebagai entitas spiritual yang merekam napas zaman: lapisan demi lapisan kertas bagaikan lapisan pengalaman perempuan—terluka, terbungkus, namun tetap bergetar. Jacob Soemardjo menempatkan karya ini dalam tradisi rasa rupa—seni yang tumbuh dari kesadaran batin, bukan sekadar keindahan formal. Sedangkan Sanento Yuliman akan menyebut tangan Deborah sebagai tangan yang berpikir dan menggugat, tangan yang mengembalikan makna “perempuan” dari dekorasi menjadi kekuatan kosmik.
“Lada Lada Lada” adalah risalah tentang keberanian untuk menjadi pedas di dunia yang menuntut kepatuhan. Tentang tubuh yang menolak diam, tentang perempuan yang tahu rasanya eksistensi. Pedas yang bukan untuk menyakiti, tetapi untuk membangunkan. Sebab, sebagaimana ajaran Sunda Wiwitan, segala yang hidup harus punya rasa. Dan rasa, ketika jujur, memang selalu sedikit menyengat.
Instagram: https://www.instagram.com/madam_senikrat/
Comments (0)
You must be logged in to comment.
More by deborah ram mozes
See All
Delete Post
Are you sure you want to delete this post?