HIGHLIGHT GALLERY
PLAYLIST BAND LIST & GENRES
POP UP GALLERY PHOTOGRAPHY VIDEOGRAPHY
SPOTLIGHT ROCKA ROOKIE
TERMS AND CONDITIONS PRIVACY POLICY HOW TO FAQ CONTACT US PASSPORT
PASSPORT LOGIN
HIGHLIGHT GALLERY
BAND LIST & GENRES PLAYLIST
POP UP GALLERY PHOTOGRAPHY VIDEOGRAPHY
SPOTLIGHT ROCKA ROOKIE
TERMS AND CONDITIONS PRIVACY POLICY HOW TO FAQ CONTACT US
Loading ...

POP UP GALLERY

“Lada” (Pedas)

/ ART / POP UP GALLERY / “Lada” (Pedas)
deborah ram mozes
“Lada” (Pedas)
by deborah ram mozes
“Lada” (Pedas)
Judul: “Lada” (Pedas) (Black and Red Pencil on Paper, Cut and Layered on Constructed Frame, 2024) “Lada” — dari bahasa Sunda berarti pedas — adalah alegori visual tentang perempuan dan kepedasan eksistensialnya di tengah sistem sosial yang memandang tubuh perempuan sebagai objek, simbol, dan komoditas. Dalam karya ini, Deborah Ram Mozes menghadirkan sekumpulan figur perempuan yang terikat, terdesak, dan terpojok di dalam ruang kertas yang berlapis, dibingkai secara konstruktif dengan sisi-sisi simetris yang menjorok keluar, menciptakan bayangan dan kedalaman. Figur-figur itu diikat oleh selendang merah — benang penghubung yang menyatukan, sekaligus menjerat. Karya ini merupakan respons terhadap realitas pekerja seks komersial yang selama pandemi tetap “turun ke jalan” demi mempertahankan hidup. Dari ketelanjangan, lahir keberlanjutan; dari tubuh yang dieksploitasi, tumbuh sistem ekonomi bayangan yang menopang kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Di pojok-pojok kota, di balik tembok-tembok tinggi dan cahaya neon, perempuan menjadi paradoks: tubuhnya dicemooh namun dibutuhkan, diasingkan namun menjadi pusat sirkulasi biologis dan ekonomi. Melalui lensa John Berger, perempuan di sini adalah “yang dilihat”—bukan karena keinginan mereka, tetapi karena struktur tatapan sosial yang memaksa mereka tampil. Baudrillard menafsirkan kondisi ini sebagai hiperrealitas: di mana tubuh perempuan tidak lagi memiliki makna asali, tetapi direproduksi sebagai citra, simulakra dari kebutuhan dan hasrat kapitalistik. Sementara dalam Lacan, perempuan dalam “Lada” adalah subjek yang sadar akan posisinya dalam sistem simbolik—ia tahu bahwa dirinya dilihat, namun tetap bertahan di dalamnya, menolak untuk hilang. Warna merah menjadi poros semantik utama—selendang itu bukan sekadar kain, melainkan simbol “tekad, ucap, lampah” seperti tertulis dalam ajaran Sunda Buhun Sang Hyang Hurip: kesatuan antara niat, kata, dan tindakan. Ia juga adalah darah, gairah, keberanian, dan penderitaan—semua yang menjadikan perempuan tetap “pedas” dalam hidup. Dalam estetika paradoks Jacob Soemardjo, karya ini memperlihatkan bagaimana keindahan dan penderitaan saling mengandung. Perempuan dalam “Lada” adalah sosok paradoksal: terbelenggu namun mencipta kehidupan, dilukai namun terus menghidupi dunia. Karya ini juga merupakan refleksi sosial dan spiritual: “pedas” bukan hanya rasa, tapi peringatan—bahwa di balik tubuh-tubuh yang dijual di pinggir jalan, tersembunyi sistem yang lebih busuk, yaitu politik dan oligarki yang menjual martabat bangsa dengan topeng kesucian. Dalam konteks ini, para pelacur justru menjadi cermin kejujuran: mereka menelanjangi dirinya secara nyata, bukan menelanjangi kebenaran untuk kekuasaan. “Lada” adalah lukisan tentang tubuh perempuan yang membara dalam diam—pedas karena jujur, pahit karena nyata, namun tetap menyala sebagai simbol ketahanan dan keberanian untuk hidup di dunia yang terus mencoba memadamkannya.
Published: Oct 27, 2025
Share to:
Facebook Twitter Linkedin
deborah ram mozes
MADAM123SENIKRAT456
by deborah ram mozes
Judul: “Lada” (Pedas) (Black and Red Pencil on Paper, Cut and Layered on Constructed Frame, 2024) “Lada” — dari bahasa Sunda berarti pedas — adalah alegori visual tentang perempuan dan kepedasan eksistensialnya di tengah sistem sosial yang memandang tubuh perempuan sebagai objek, simbol, dan komoditas. Dalam karya ini, Deborah Ram Mozes menghadirkan sekumpulan figur perempuan yang terikat, terdesak, dan terpojok di dalam ruang kertas yang berlapis, dibingkai secara konstruktif dengan sisi-sisi simetris yang menjorok keluar, menciptakan bayangan dan kedalaman. Figur-figur itu diikat oleh selendang merah — benang penghubung yang menyatukan, sekaligus menjerat. Karya ini merupakan respons terhadap realitas pekerja seks komersial yang selama pandemi tetap “turun ke jalan” demi mempertahankan hidup. Dari ketelanjangan, lahir keberlanjutan; dari tubuh yang dieksploitasi, tumbuh sistem ekonomi bayangan yang menopang kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Di pojok-pojok kota, di balik tembok-tembok tinggi dan cahaya neon, perempuan menjadi paradoks: tubuhnya dicemooh namun dibutuhkan, diasingkan namun menjadi pusat sirkulasi biologis dan ekonomi. Melalui lensa John Berger, perempuan di sini adalah “yang dilihat”—bukan karena keinginan mereka, tetapi karena struktur tatapan sosial yang memaksa mereka tampil. Baudrillard menafsirkan kondisi ini sebagai hiperrealitas: di mana tubuh perempuan tidak lagi memiliki makna asali, tetapi direproduksi sebagai citra, simulakra dari kebutuhan dan hasrat kapitalistik. Sementara dalam Lacan, perempuan dalam “Lada” adalah subjek yang sadar akan posisinya dalam sistem simbolik—ia tahu bahwa dirinya dilihat, namun tetap bertahan di dalamnya, menolak untuk hilang. Warna merah menjadi poros semantik utama—selendang itu bukan sekadar kain, melainkan simbol “tekad, ucap, lampah” seperti tertulis dalam ajaran Sunda Buhun Sang Hyang Hurip: kesatuan antara niat, kata, dan tindakan. Ia juga adalah darah, gairah, keberanian, dan penderitaan—semua yang menjadikan perempuan tetap “pedas” dalam hidup. Dalam estetika paradoks Jacob Soemardjo, karya ini memperlihatkan bagaimana keindahan dan penderitaan saling mengandung. Perempuan dalam “Lada” adalah sosok paradoksal: terbelenggu namun mencipta kehidupan, dilukai namun terus menghidupi dunia. Karya ini juga merupakan refleksi sosial dan spiritual: “pedas” bukan hanya rasa, tapi peringatan—bahwa di balik tubuh-tubuh yang dijual di pinggir jalan, tersembunyi sistem yang lebih busuk, yaitu politik dan oligarki yang menjual martabat bangsa dengan topeng kesucian. Dalam konteks ini, para pelacur justru menjadi cermin kejujuran: mereka menelanjangi dirinya secara nyata, bukan menelanjangi kebenaran untuk kekuasaan. “Lada” adalah lukisan tentang tubuh perempuan yang membara dalam diam—pedas karena jujur, pahit karena nyata, namun tetap menyala sebagai simbol ketahanan dan keberanian untuk hidup di dunia yang terus mencoba memadamkannya.
Instagram: https://www.instagram.com/madam_senikrat/

Comments (0)

You must be logged in to comment.
More by deborah ram mozes
See All
“Wening Lenyepan” (Keheningan yang Menyerap Segalanya) “Ieu Kumaha Carana? Reuk Asup!!” (Bagaimana Caranya Ini? Susah Masuk!!) Jangar “Teu Ningali Tapi Nyaho” (Melihat Tapi Buta)
Terms and Conditions Privacy Policy How To Contact Us
COPYRIGHT 2025 All rights reserved
COPYRIGHT 2025 All rights reserved

Delete Post

Are you sure you want to delete this post?

KICK MUSIC ART DCDC +
Band Photo
Song Title
0:00 0:00
play
pause
KICK MUSIC ART DCDC +