HIGHLIGHT GALLERY
PLAYLIST BAND LIST & GENRES
POP UP GALLERY PHOTOGRAPHY VIDEOGRAPHY
SPOTLIGHT ROCKA ROOKIE
TERMS AND CONDITIONS PRIVACY POLICY HOW TO FAQ CONTACT US PASSPORT
PASSPORT LOGIN
HIGHLIGHT GALLERY
BAND LIST & GENRES PLAYLIST
POP UP GALLERY PHOTOGRAPHY VIDEOGRAPHY
SPOTLIGHT ROCKA ROOKIE
TERMS AND CONDITIONS PRIVACY POLICY HOW TO FAQ CONTACT US
Loading ...

POP UP GALLERY

SUNAN AMBU

/ ART / POP UP GALLERY / SUNAN AMBU
deborah ram mozes
SUNAN AMBU
by deborah ram mozes
SUNAN AMBU
“Sunan Ambu” bukan sekadar representasi visual dari mitologi Sunda—ia adalah pernyataan tentang ingatan, asal-usul, dan keberanian untuk melawan pelupaan. Dalam tradisi Sunda, Sunan Ambu dikenal sebagai Ibu Agung, sosok pelindung yang menjaga harmoni antara alam, manusia, dan dunia roh. Dalam karya Deborah Ram Mozes, figur ini dihadirkan bukan sebagai dewi yang jauh di langit, tetapi sebagai kesadaran yang hidup di tubuh perempuan, dalam garis-garis tangan yang mencatat pengalaman kolektif dan spiritualitas timur yang mulai tergerus arus modernitas. Dalam pendekatan yang mengingatkan pada tafsir estetik Jacob Soemardjo, karya ini mengandung “puitika bahan”—kertas dan pensil diolah bukan hanya sebagai medium, melainkan sebagai tubuh yang bernapas. Tiap guratan, tiap pola spiral dan ornamen adalah semacam mantra visual yang memanggil kembali nilai-nilai “karuhun,” menghadirkan rasa hening yang sakral, di mana bentuk dan makna saling menembus. Tidak ada ruang kosong tanpa makna; setiap detil adalah doa yang dipahat dengan kesabaran seorang perupa yang memahami relasi antara alam, tubuh, dan jiwa. Sanento Yuliman mungkin akan membaca karya ini sebagai “seni yang sadar sejarahnya.” Ia tahu luka yang diwariskan pada perempuan dan budaya lokal—luka yang timbul karena sejarah seni Indonesia sering lebih memuja barat daripada menengok akar estetik sendiri. Deborah menjawab luka itu dengan garis lembut yang tegas, dengan figur perempuan yang tak tunduk pada pandangan maskulin seni rupa, tetapi berdiri sebagai sumber narasi. Sunan Ambu di sini bukan sekadar figur; ia adalah mitos yang dihidupkan kembali untuk melawan sunyi, untuk mengingatkan bahwa estetika nusantara bukan sekadar ornamen eksotis, melainkan cara berpikir yang menyeluruh—tentang kehidupan, keseimbangan, dan spiritualitas. Karya ini adalah penghormatan sekaligus pemberontakan: penghormatan pada tradisi yang membentuk, dan pemberontakan terhadap sistem seni yang melupakan makna. Dalam setiap garis pensil, Deborah tidak sekadar menggambar sosok perempuan, melainkan menggambar kembali ingatan bangsa—bahwa keindahan timur bukan untuk dikurung di museum, melainkan untuk dihidupi kembali, di antara luka dan cinta, di antara “NOWHERE” dan “NOW HERE.”
Published: Oct 27, 2025
Share to:
Facebook Twitter Linkedin
deborah ram mozes
MADAM123SENIKRAT456
by deborah ram mozes
“Sunan Ambu” bukan sekadar representasi visual dari mitologi Sunda—ia adalah pernyataan tentang ingatan, asal-usul, dan keberanian untuk melawan pelupaan. Dalam tradisi Sunda, Sunan Ambu dikenal sebagai Ibu Agung, sosok pelindung yang menjaga harmoni antara alam, manusia, dan dunia roh. Dalam karya Deborah Ram Mozes, figur ini dihadirkan bukan sebagai dewi yang jauh di langit, tetapi sebagai kesadaran yang hidup di tubuh perempuan, dalam garis-garis tangan yang mencatat pengalaman kolektif dan spiritualitas timur yang mulai tergerus arus modernitas. Dalam pendekatan yang mengingatkan pada tafsir estetik Jacob Soemardjo, karya ini mengandung “puitika bahan”—kertas dan pensil diolah bukan hanya sebagai medium, melainkan sebagai tubuh yang bernapas. Tiap guratan, tiap pola spiral dan ornamen adalah semacam mantra visual yang memanggil kembali nilai-nilai “karuhun,” menghadirkan rasa hening yang sakral, di mana bentuk dan makna saling menembus. Tidak ada ruang kosong tanpa makna; setiap detil adalah doa yang dipahat dengan kesabaran seorang perupa yang memahami relasi antara alam, tubuh, dan jiwa. Sanento Yuliman mungkin akan membaca karya ini sebagai “seni yang sadar sejarahnya.” Ia tahu luka yang diwariskan pada perempuan dan budaya lokal—luka yang timbul karena sejarah seni Indonesia sering lebih memuja barat daripada menengok akar estetik sendiri. Deborah menjawab luka itu dengan garis lembut yang tegas, dengan figur perempuan yang tak tunduk pada pandangan maskulin seni rupa, tetapi berdiri sebagai sumber narasi. Sunan Ambu di sini bukan sekadar figur; ia adalah mitos yang dihidupkan kembali untuk melawan sunyi, untuk mengingatkan bahwa estetika nusantara bukan sekadar ornamen eksotis, melainkan cara berpikir yang menyeluruh—tentang kehidupan, keseimbangan, dan spiritualitas. Karya ini adalah penghormatan sekaligus pemberontakan: penghormatan pada tradisi yang membentuk, dan pemberontakan terhadap sistem seni yang melupakan makna. Dalam setiap garis pensil, Deborah tidak sekadar menggambar sosok perempuan, melainkan menggambar kembali ingatan bangsa—bahwa keindahan timur bukan untuk dikurung di museum, melainkan untuk dihidupi kembali, di antara luka dan cinta, di antara “NOWHERE” dan “NOW HERE.”
Instagram: https://www.instagram.com/madam_senikrat/

Comments (0)

You must be logged in to comment.
More by deborah ram mozes
See All
“Wening Lenyepan” (Keheningan yang Menyerap Segalanya) “Ieu Kumaha Carana? Reuk Asup!!” (Bagaimana Caranya Ini? Susah Masuk!!) Jangar “Teu Ningali Tapi Nyaho” (Melihat Tapi Buta)
Terms and Conditions Privacy Policy How To Contact Us
COPYRIGHT 2025 All rights reserved
COPYRIGHT 2025 All rights reserved

Delete Post

Are you sure you want to delete this post?

KICK MUSIC ART DCDC +
Band Photo
Song Title
0:00 0:00
play
pause
KICK MUSIC ART DCDC +