Loading ...
The Citrus of Dying Eyes
by Ima Suswanto
Karya ini menampilkan sebuah kepala manusia dengan tanduk menjulang, mata yang meleleh seperti buah sitrus yang terbelah, dan potongan organik yang menggantung dalam ruang hampa. Judul “The Citrus of Dying Eyes” sendiri adalah paradoks yang menyatukan dua hal yang tampak berlawanan: kesegaran buah dengan kefanaan pandangan manusia.
Mata yang berbentuk jeruk sitrus, berurat dan seakan membusuk, melambangkan penglihatan yang perlahan kehilangan kekuatannya. Layaknya buah yang membusuk dari dalam, penglihatan manusia pun tergerus waktu, usia, dan luka batin. Mata di sini bukan hanya indera fisik, melainkan simbol dari kesadaran, memori, dan cara manusia menafsirkan dunia. Dengan daging sitrus yang retak dan menetes, ia menyuarakan kefanaan—bahwa setiap pandangan yang kita miliki selalu menuju batas akhir: kegelapan.
Kepala manusia yang nyaris tak utuh berdiri sebagai representasi Homo sapiens: makhluk yang selalu mencoba memahami dirinya lewat pandangan, namun justru rapuh dalam interpretasi itu sendiri. Ekspresi wajah yang netral, hampir dingin, menambah nuansa hampa, seolah jiwa telah menerima kefanaan yang tak terhindarkan.
Tanduk yang tumbuh dari kepala bukan sekadar ornamen, tetapi simbol naluri purba, insting bertahan hidup, dan sisi liar manusia yang sering ditutupi oleh peradaban. Ia menghubungkan manusia dengan alam—dengan siklus lahir, tumbuh, membusuk, dan mati. Tanduk juga mengingatkan pada ritual-ritual kuno di mana manusia mencari makna hidup lewat tubuh dan simbol.
Melelehnya bentuk, baik pada mata maupun wajah, menandakan disintegrasi: tubuh sebagai wadah yang perlahan pecah, sementara jiwa hanya menjadi saksi. Dalam konteks surrealism, kombinasi jeruk sitrus dengan mata adalah sindiran tentang bagaimana kesegaran, kenikmatan, dan kehidupan selalu menyimpan benih kematian.
Secara keseluruhan, “The Citrus of Dying Eyes” adalah meditasi visual tentang kefanaan pandangan manusia—tentang bagaimana mata sebagai jendela jiwa pada akhirnya hanyalah buah yang akan membusuk. Ia mengajak penonton merenung: apakah yang kita lihat benar-benar hidup, atau sekadar bayangan dari sesuatu yang perlahan mati?
Published: Oct 07, 2025
Karya ini menampilkan sebuah kepala manusia dengan tanduk menjulang, mata yang meleleh seperti buah sitrus yang terbelah, dan potongan organik yang menggantung dalam ruang hampa. Judul “The Citrus of Dying Eyes” sendiri adalah paradoks yang menyatukan dua hal yang tampak berlawanan: kesegaran buah dengan kefanaan pandangan manusia.
Mata yang berbentuk jeruk sitrus, berurat dan seakan membusuk, melambangkan penglihatan yang perlahan kehilangan kekuatannya. Layaknya buah yang membusuk dari dalam, penglihatan manusia pun tergerus waktu, usia, dan luka batin. Mata di sini bukan hanya indera fisik, melainkan simbol dari kesadaran, memori, dan cara manusia menafsirkan dunia. Dengan daging sitrus yang retak dan menetes, ia menyuarakan kefanaan—bahwa setiap pandangan yang kita miliki selalu menuju batas akhir: kegelapan.
Kepala manusia yang nyaris tak utuh berdiri sebagai representasi Homo sapiens: makhluk yang selalu mencoba memahami dirinya lewat pandangan, namun justru rapuh dalam interpretasi itu sendiri. Ekspresi wajah yang netral, hampir dingin, menambah nuansa hampa, seolah jiwa telah menerima kefanaan yang tak terhindarkan.
Tanduk yang tumbuh dari kepala bukan sekadar ornamen, tetapi simbol naluri purba, insting bertahan hidup, dan sisi liar manusia yang sering ditutupi oleh peradaban. Ia menghubungkan manusia dengan alam—dengan siklus lahir, tumbuh, membusuk, dan mati. Tanduk juga mengingatkan pada ritual-ritual kuno di mana manusia mencari makna hidup lewat tubuh dan simbol.
Melelehnya bentuk, baik pada mata maupun wajah, menandakan disintegrasi: tubuh sebagai wadah yang perlahan pecah, sementara jiwa hanya menjadi saksi. Dalam konteks surrealism, kombinasi jeruk sitrus dengan mata adalah sindiran tentang bagaimana kesegaran, kenikmatan, dan kehidupan selalu menyimpan benih kematian.
Secara keseluruhan, “The Citrus of Dying Eyes” adalah meditasi visual tentang kefanaan pandangan manusia—tentang bagaimana mata sebagai jendela jiwa pada akhirnya hanyalah buah yang akan membusuk. Ia mengajak penonton merenung: apakah yang kita lihat benar-benar hidup, atau sekadar bayangan dari sesuatu yang perlahan mati?
Comments (3)
You must be logged in to comment.
Cecile Priscilla
Oct 23, 2025💅🏻💅🏻💅🏻
nunu nugraha
Oct 23, 2025paradoxs
Witri mayangsari
Oct 22, 2025Keren banget ini!!!
More by Ima Suswanto
See All
Delete Post
Are you sure you want to delete this post?